Dudi Rustandi

Sampurasun Wargi

Catatan ini saya dedikasikan untuk dunia seolah-olah '

Catatan Seolah-olah

Portofolio Catatan Receh tentang dunia seolah-olah'

Cerita Sukses bukan (hanya) Milik Selebriti

ilustrasi, sumber medhy hidayat

Cerita sukses kreator konten yang mendulang rupiah dari ruang digital bukan lagi milik figur
 publik seperti Atta Halilintar, Dedy Corbuzer, Raffi Ahmad, ataupun pemilik kecakapan digital Agung Hafsah yang sejak usia remaja sudah terampil berbicara di depan publik dengan teknik videografinya. 

Cerita sukses juga milik masyarakat desa yang tidak terhitung jumlahnya. Salah duanya misalnya seperti Jek Deni dari Kawali Ciamis atau Gunawan Sadbor dari kampung Tiktok di Sukabumi.

Cerita kesuksesan tersebut menyebar ke seantero negeri. Bermodal telepon pintar setiap orang ingin meniru kesuksesan mereka, katakanlah begitu. Maka, frasa yang pernah diprediksi pendiri Microsoft Bill Gates 1996 silam tentang The Content is King terbukti, membanjiri ruang digital. Maka berbondong-bondonglah para pengguna media sosial mengubah status bioprofilnya sebagai kreator digital. Padahal belum tentu mereka cukup paham dengan konsep kreator tersebut.


Konten Minus Nilai

Berkedok kreator digital, pengguna sudah mengunggah jutaan konten. Dari konten kata-kata kasar dan tabu hingga pornoaksi. Konten lain menawarkan konsumerisme atau pamer kekayaan dan pencapaian-pencapaian hidup lainnya (fleksing) hingga konten prank. Sebagian lain membohongi pengguna lain atau kreator digital baru atas nama interaksi agar kontennya dibagikan, disukai, dikomentari, atau ditaburi Bintang untuk mendapatkan umpan balik yang sama.


Pada platform seperti Youtube atau Tiktok, ada beberapa kreator digital merasa tidak bersalah dan tanpa dosa saat dengan sengaja melakukan fabrikasi informasi. Menciptakan simulakra yang sama sekali tidak berdasarkan fakta. Pada platform X bahkan konten pornoaksi dibiarkan bebas berseliweran tanpa kontrol.


Berdasarkan data dari dirjen Aptika Komdigi, sejak 2018-2023 terdapat konten negatif sejumlah 3,7 juta konten. Sepanjang tahun 2024, Komdigi juga merilis terdapat 1923 konten hoaks. Sementara, pada awal tahun 2025 terhadap 43 ribu konten negative yang diturunkan oleh Komdigi, khususnya tentang judol.


Teknologi Hawa Nafsu

Ada pepatah usaha tidak mengkhianati hasil. Ini seringkali menjadi kata-kata penuh gairah bagi pengguna yang sudah merasakan cuan dari platform. Sehingga mengundang pengguna lainnya untuk terus mendapatkan rangking dan level tertentu pada platform tersebut.


Pengguna akhirnya dituntut untuk menciptakan kontennya setiap saat. Selain untuk mengejar eksistensi dan keterbacaan algoritma. Mereka juga mengejar level agar naik dan cepat monetisasi. Satu dua kali terlewat untuk menggunggah konten, maka algoritma membacanya sebagai bentuk kinerja yang rendah.


Untuk memenuhi kinerja platform tersebut, pengguna secara serampangan dan membabibuta membagikan konten apapun walaupun melanggar etika dan norma sosial. Beranda pun penuh dengan konten-konten sampah. Konten tersebut tidak hanya merusak pemandangan ruang digital juga merusak pikiran dan mental penggunanya.


Meminjam istilah Rich De Vos (1995) passionate capitalism – kapitalisme hawa nafsu. Pengguna yang mengatasnamakan kreator digital dituntut untuk terus menciptakan konten secara periodik. Bahkan terdapat paham di kalangan pengguna, jika ingin mendapatkan cuan dari platform minimal setiap harinya harus mengunggah sejumlah tiga konten.


Dalam konteks tersebut, teknologi bukan menjadi solusi bagi ekonomi pengguna, justeru menjadi masalah baru karena menjadi umpan bagi hawa nafsu yang tidak terkendali. Meminjam istilah John Naisbith, mereka benar-benar mabuk teknologi.


Eksploitasi Media Sosial

Jika pengguna tersebut selalu bersembunyi di balik kebebasa, justeru sebaliknya, hal sebagai keterikatan yang tidak ada ujungnya. Media sosial menciptakan ketergantungan para penggunanya. Ini bukan lagi FOMO (Fear of missing out) tapi perilaku yang dikendalikan oleh mesin, apa yang disebut Lanier sebagai BUMMER (Behavior of Users Modified and Made into an Empire for Rent). Seolah-olah pengguna bekerja pada platform padahal tidak dibayar sepeserpun—tentu saja ada yang dibayar jika beruntung.


Apa yang diberikan oleh pengguna berupa konten, merupakan bentuk modal tetap dan kekayaan bagi pengembang platform (perusahaan). Menurut Hardt dan Negri dalam Fuch (2021) ini bukan hanya bentuk eksploitasi, namun juga perampasan dan dominasi yang dilakukan oleh kapitalisme digital.


Fenomena ini apa yang diistilahkan oleh Jaron Lanier (2019) sebagai ilusi media sosial. Salah satunya tentang kebebasan. Para kreator konten alih-alih memiliki kebebasan justeru ia dibelenggu oleh tuntutan platform untuk terus memproduksi konten. Konten dengan jumlah penonton banyak hingga menjadi viral justeru menjadi candu bagi penggun.


Perkuat Literasi Digital

Walaupun Komdigi akan mulai mengawasi konten melalui SAMAN (Sistem Kepatuhan Moderasi Konten) seperti diberitakan detik (24/01/2025) namun belum tentu efektif karena sifatnya bertahap dan membutuhkan Sumber Daya. Coba cek platform X yang begitu bebas dengan konten pornografi. Coba cek Tiktok dan Youtube yang penuh dengan konten hoaks. Semua itu masih bebas sampai hari ini.


Jika masyarakat tidak berperan serta, maka satu dua konten yang ditertibkan pemerintah pasti akan muncul lagi. Sebagaimana halnya situs judol, satu mati tumbuh seribu. Padahal sudah jelas konten judol itu terlarang.


Oleh karena itu, peran konkret masyarakat dalam membendung beragam konten negatif dan meresahkan harus digalakkan. Bukan alih-alih terbawa arus dengan tawaran cuan dari platform lalu kemudian kebablasan. Justeru peran warganet dibutuhkan untuk melawan konten-konten negatif dengan melakukan counter konten.


Kita sebagai bagian dari pengguna mari berperan serta berpartisipasi secara konkret menjadi menciptakan konten positif dan menjadi watchdog terhadap konten-konten minus nilai. 1000 koten negatif yang tersebar, marilah kita lawan dengan 10.000 konten postitif, agar algoritma tidak berpihak pada konten yang minus etika. Sehingga konten-konten negatif tidak direkomendasikan oleh platform dan konten positif muncul menjadi BUMMER di ruang digital Indonesia.***[]


sumber: islamkafah
Pengantar: Beragam Kasus Nir-etika Dosen

Kasus plagiarism yang dilakukan oleh dosen, pencatutan nama tanpa sepengetahuan yang dicatutnya, hingga penulisan nama dan program studi fiktif sepertinya menjadi kasus yang cukup berwarna di awal tahun 2024 hingga masuk ke pertengahan tahun tersebut.


Dosen yang harusnya menjadi teladan bagi mahasiswanya, justeru melakupan perbuatan tidak patut hingga harus diberhentikan dari jabatannya. Belum lagi kasus dosen yang melakukan sexual harassment dan pada akhirnya di-PHK dari pekerjaannya mengajar. Sedih sih, iya. Marah, juga iya.


Tapi apa yang bisa saya perbuat? Belum lagi mandulnya dosen dalam menyampaikan kritik terhadap isu-isu kebangsaan. Walaupun ada satu dua bersuara, namun nyaris tidak terdengar, karena lebih berisik buzzer-buzzernya. Walaupun belakangan menjelang berakhirnya pemerintahan, semua dosen hampir di semua perguruan tinggi, negeri khususnya mulai bersuara.


Namun bagaimana mau bersuara lantang, jika masalah dengan dirinya sendiri saja belum tuntas.


Simbiosis pragmatis Gelar

Tulisan ini, akan lebih menyoroti persoalan yang menimpa dosen sebagai personal, kenapa bisa melakukan hal-hal yang melanggar etika kedosenannnya yang sangat fatal.


Saya ingin berangkat dari suatu cerita dan fakta ini sepertinya sudah sampai ke media massa. Jika di suatu kampus tertentu, ada satu tim yang menyebut tim adhoc tersebut “tim percepatan guru besar”. Maka terjadilah semacam panen guru besar, sampai-sampai kampus tersebut harus turun akreditasinya karena dianggap melakukan fraud dalam mendorong dosen-dosennya mendapatkan jabatan guru besar.


Tim percepatan guru besar, niatnya baik, bagaimana meningkatkan level suatu program studi, fakultas, bahkan universitas. Bahkan, berdasarkan kabar yang beredar, untuk mendirikan program studi S3 pada suatu kampus, minimalnya harus terdapat dua jumlah guru besarnya. Sehingga terjadi simbiosis mutualisme antara institusi sebagai organisasi dengan individu sebagai penyandang gelar.


Eksistensi suatu program studi, menjadi salah satu bentuk eksistensi dari perguruan tinggi. Wajar jika tim percepatan guru besar ini menjadi semacam trend umum di kampus-kampus yang ingin menaikkan levelnya. Tujuannya jelas adalah pragmatis, baik secara organisasi ataupun individu. Secara individu selain sebagai pencapaian puncak dari karir seorang dosen, secara status sosial juga memiliki level di atas jika seseorang menyandang gelar profesor. Secara kedudukan, menjadi bahan pertimbangan otoritas keilmuan untuk jabatan-jabatan tertentu seperti dekan atau rektor pada lembaga pendidikan.


Secara individu juga, ketika seseorang menyandang gelar akademik professor, maka berdampak terhadap pendapatannya sebagai dosen, karena mendapatkan tunjangan sebagai guru besar yang berkali lipat dibandingkan hanya sebagai dosen. Sehingga secara invidu wajar jika banyak dosen yang mengejar gelar tersebut.


Dosen Cendekiawan

Apakah setiap dosen mampu mencapai karir puncaknya sebagai dosen pada level guru besar? Jawabannya, belum tentu. Kenapa belum tentu? Kasus-kasus di atas sebagai buktinya. Belum lagi kasus yang secara umum bahwa tidak semua dosen dapat menghasilkan riset dan paper berkualitas yang harus dipublikasikan pada jurnal internasional. Terlepas dari wacana tentang kapitalisme publikasi atau kapitalisme ilmiah dan lain sebagainya. Namun, kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa untuk mendapatkan publikasi bereputasi tidak semua menulis buku yang diterbitkan oleh penerbit indie.


Tentu saja ini bukan hanya soal uang, tapi juga soal kemampuan akademik seorang dosen dan juga berjejaring. Beberapa kasus publikasi pada jurnal predator, hingga isu publikasi yang tidak berkualitas menjadi isu umum yang dihadapi oleh perguruan tinggi. Padahal seharusnya publikasi jurnal beruptasi nasional ataupun internasional menjadi salah satu hal yang biasa bagi dosen, sebagaimana halnya mengajar ke kelas. Karena itu menjadi standar kinerja dosen dimanapun. Tridarma perguruan tinggi plus publikasi.


Intelektual Tercerahkan

Hal yang saya cermati, bahkan profesi dosen dianggap sebagai profesi yang bersifat teknis. Mengajar, mengabdi, riset, dianggap teknis belaka. Sehingga dosen yang bermasalah seperti kasus-kasus di atas, bisa jadi tidak memiliki ruh sebagai dosen yang harusnya juga sekaligus sebagai cendekiawan atau intelektual tercerahkan, jika meminjam istilah Ali Syariati.


Sebagai cendekiawan, dosen harus sensitif terhadap persoalan-persoalan di sekitarnya, terlepas dosen tersebut memiliki keahlian pada bidang apa. Kepekaan terhadap lingkungan sosial budaya ekonomi politik atau lainnya dalam isu kebangsaan, menjadi modal dalam melakukan riset dan pengabdian sehingga akan berdampak terhadap pengayaan dan isi pengajarannya di kelas. Sehingga antara mengajar, mengabdi, dan riset plus publikasi menjadi satu paket yang tidak terpisah-pisahkan.


Sensibilitas inilah menjadi modal dasar dari dosen sehingga dosen tersebut memiliki power yang besar untuk menghasilkan karya-karya terbaik yang dipublikasikan. Lalu bagaimana jika dosen tidak memiliki kepekaan yang dimaksud di atas. Muncullah persoalan di atas, dosen kebingungan melakukan riset, karena kebingungan melakukan riset, maka akan kesulitan juga bahan riset apa yang akan dipublikasikan.


Sebagai seorang cendekiawan, akan mendorong akan disalurkan kemana keresahan-keresahan yang dihadapinya tersebut. Sehingga mendorong untuk melakukan pencarian-pencarian yang mendalam baik dari sisi teori, metode, pendekatan, bahkan lembaga publikasinya sendiri yang sesuai dengan ekspertisenya tersebut.


Dosen-dosen yang sejak awal menjadikan profesi dosen hanya persoalan pekerjaan belaka yang bersifat pragramatis akan kesulitas mengembangkannya menjadi bentuk dan hasil karya riset. Karena bagaimanapun, sebagaimana halnya riset secara umum harus didorong untuk rasa ingin tahu yang besar (curiousity). Jika sejak awal tidak diasah kepekaannya, maka akan kesulitan memunculkan rasa ingin tahun tersebut yang menjadi dasar dari kerja-kerja intelektual atau kecendekiaan.


Oleh karena itu, paradigma ketika seseorang memutuskan akan berkarir sebagai dosen bukan pekerjaan, tapi kepekaan terhadap isu dan persoalan-persoalan yang ada di masyarakat. Sehingga untuk menuju karir dosen tinggal mengasah dan memupuk skill-skill teknisnya. 


Namun, jika sejak awal tidak memiliki kepekaan apapun, percayalah, akan kesulitan berkembang. Karena sejatinya seorang dosen adalah seorang cendekiawan dan sudah seharusnye menjadi intelektual tercerahkan. Mansour Faqih mengistilahkannya sebagai intelektual organik.***[]

Foto koleksi pribadi, sekadar pemanis.

Ingat Buku Garut Kota Iluminati dan The Lost of Athlantis


Suatu kali, ketika sedang ramai isu dan pemberitaan tentang Gunung Piramida di Garut. Muncullah buku berjudul ‘Garut Kota Iluminati’.


Bagi saya, yang waktu itu sedang sedikit tertarik dengan isu-isu antimaintream dan outofthebox, teralihkan terhadap judul buku tersebut, akhirnya saya beli dan saya baca. Sekilas buku ini relevan dengan bukunya Prof. Arysio Santos, The Lost of Atlantis, yang salah satunya menceritakan tentang Indonesia sebagai Kota Atlantis karena di laut Indonesia terdapat Sungai sebagaimana diceritakan oleh Plato.


Buku dengan ketebalan 675 halaman edisi Indonesia ini, bagi saya, sebagai pembaca, tentu saja memberikan ‘pencerahan’ pengetahuan sekaligus kebanggaan terhadap saya sebagai anak bangsa. Jika benar, Indonesia akan sangat terkenal di dunia. Namun, menyusul bantahan-bantahan terkait dengan Atlantis, maka buku tersebut ikut tenggelam karena kemunculan buku-buku lain sejenis yang membahas tentang Atlantis. Nah termasuk juga buku Garut Kota Iluminati.


Buku Garut kota Iluminati, memang tidak semeyakinkan buku The Lost of Athlantis yang dilengkapi oleh data-data khususnya peta-peta masa lalu, seperti peta Sundaland, tentang Garuda-nya Indonesia dan lainnya. Buku Garut kota Iluminati lebih banyak menyajikan fakta-fakta berdasarkan tuturan lisan, bahkan dari grup-grup virtual.


Akademisi VS Konten Kreator

Sikap saya sama, buku ini memberikan pencerahan dan pengetahuan karena memberikan perspektif yang berbeda tentang Garut, tentang Indonesia, tentang bahasa dan lainnya. Walaupun kemudian, dengan segala hormat dan penghargaan terhadap karya ini, saya menyebutnya buku ini sebagai hiburan belaka.


Kenapa? Nah inilah seperti yang banyak kita saksikan dalam ruang digital, perdebatan ‘ilmiah’ yang terjadi karena polemik Guru Gembul soal ‘Ilmiah’ bagi saya adalah sebagai hiburan intelektual. Karena kerangka ilmiah yang ditawarkan tidak utuh, berpatokan pada yang rasional dan empiris belaka, tanpa riset, dan kedalaman referensi. Lebih substantif lagi, kerangka ilmiah yang dimaksud tidak mencoba untuk menggunakan pendekatan dan paradigma lain.


Misalnya, dalam paradigma dan pendekatan fenomenologi, yang diteliti itu adalah kesadaran manusia. Sudut pandang dari subjektivitas yang dikumpulkan sehingga dapat digeneralisasi. Apakah kesadaran itu harus empiris, dapat dibuktikan melalui panca indra peneliti? Tentu saja tidak, karena melalui kesaksian orang lain. Tidak perlu bukti empiris yang dapat dilihat oleh peneliti, karena dalam kerangka ilmiah ada kesaksian. Kesaksian yang bersifat subjektif. Apakah ini ilmiah? Tentu saja dalam paradigma fenomenologi ini masuk kategori ilmiah.


Maka saat Ustadz Nurudin menjawab pertanyaan Pak Guru Gembul tentang apakah saya Ada? Ada, bukan hanya secara empiris tapi juga rasional. Karena ada itu bukan sekadar empiris tapi konsep filsafat tentang eksistensi seseorang yang bernama Guru Gembul. Bukan sekadar fisiknya, namun juga esensi sekaligus eksistensinya.


Komodifikasi Konten

Terlepas perdebatan tersebut menghasilkan apa, dan yang menang siapa. Catatan kecil ini menitikberatkan lebih kepada membongkar komodifikasi dalam bentuk konten. Filsafat hari ini telah menjadi konten ‘hiburan’ di media sosial. Filsafat sudah menjadi semacam area bermain drama para penikmatnya. Tak ubahnya dengan konten-konten joget di tiktok, kadang konten kreator menjadikan tema filsafat ini sebagai bentuk komodifikasi agar tidak kehabisan ide.


Walaupun tentu saja, harus diakui, ada juga konten-konten filsafat yang bersifat edukasi. Sebagaimana yang secara serius digarap oleh Ngaji Filsafat oleh Fahrudin Faiz, namun konten-konten filsafat yang dibuat oleh konten kreator, menjadi bagian dari mengubah kerumitan filsafat menjadi popularitas filsafat sehingga disukai pengguna. Ini bentuk komodifikasi konten. Nilai edukasi menjadi nilai monet.


Oleh karena itu, apa yang menjadi perseteruan antara Ustadz M. Nuruddin dan Guru Gembul, antara ilmiah versi 1 dan versi 2. Tak ubahnya sebagai bentuk hiburan intelektual. Karena jika ingin sungguh-sungguh mengambil Pelajaran dan mempelajari bagaimana kerangka ilmiah dan apakah Tuhan itu bisa diilmiahkan atau tidak, maka lebih baik langsung belajar pada sumbernya.


M. Nurudin sendiri sudah menerbitkan buku-buku yang terkait dengan logika sebagai salah satu sumber deskripsi ilmiah, melalui Ilmu mantiq, serta buku lainnya. Guru Gembul menulis tentang tokoh Islam berpengaruh. Selebihnya ratusan konten pada kanal Youtubenya.


Kembali lagi ke Pertanyaan, Apakah Tuhan itu Empiris?

Secara epistemologis, untuk menjawab pertanyaan tersebut, sebetulnya bisa merujuk pada teori kebenaran. Teori kebenaran mana yang paling relevan untuk menjawab pertanyaan tersebut? Yang paling tepat adalah teori kebeneran Revelasi sebagaimana ditulis oleh Poerwadarminta (Kalau tidak salah) dalam bukumnya mengenal Epistemologi. Revelasi adalah kebenaran yang menyandarkan pada wahyu.


Tuhan juga empiris dalam kacamata kebenaran korespondensi maupun koherensi. Kebenaran korespondensi. Pernyataan Tuhan itu empiris berdasarkan fakta-fakta akan eksistensi ciptaannya. Ini bentuk kebeneran korespondensi. Jadi Tuhan itu empiris. Ciptaannya bisa diindra. Jika pun kelima indra itu tidak menangkap keberaadaan Tuhan. Namun, alat berpikir yang oleh AlGhazali disebut rasa menemukan bukti jika Tuhan itu empiris, dapat dirasakan keberadaannya, selain dengan ciptaannya. Tuhan empiris juga koheren, karena menjadi postulat. Pernyataan yang tidak bisa dibantah. Hanya saja makna empiris harus didefinisikan ulang. Bukan hanya soal panca indra. Namun dalam pengalaman sadar manusia dan para penganutnya.


Nah inilah pendekatan fenomenologi. Walaupun Tuhan tidak kasat mata, tidak bisa didengar, namun dapat dilihat oleh mata batin, dapat didengar oleh pendengaran nurani. Coba oservasi terhadap mereka yang menjalankan agama dengan baik. Milyaran orang akan mengatakan pernah bertemu dengan Tuhan, berkomunikasi dengan Tuhan. Bukankah ini empiris, melalui kesaksian orang-orang. Dan ini ilmiah.


Hanya saja terdapat persoalan, paradigma sains barat tidak mengakui. Tidak mengakui bukan berarti tidak empiris. Bukan berarti tidak ilmiah. Ini sama halnya ketika orang yang terkena teluh atau santet, lalu berobat ke dokter, lalu mereka bilang, gak ada apa-apa, sehat kok. Padahal yang pesakitan sangat merasakan sakit yang luar biasa, bukan halusinasi, tapi fakta sakit yang dirasakan, pengalaman si sakit. Ini apa yang disebut oleh John Locke sebagai pengetahuan demonstratif, yang menjadi unsur verifikatif dari pengetahuan instuitif akan eksistensi Tuhan. Tuhan mendemonstrasikan fakta empirisnya terhadap hukum yang berlaku di dunia--ciptaannya. 


Apakah masih tidak mengakui jika Tuhan itu tidak empiris?


Tidak apa-apa namanya juga hiburan intelektual.


Cag,

Bandung 21 Oktober 2024

 

 

 


Media dan Corona

[https://dudi.my.id] - Indonesia (masih) sedang darurat menghadapi Corona. Persebarannya selama beberapa hari terakhir menunjukkan percepatan yang signifikan, alih-alih melambat karena telah dilakukan social distancing. Setiap hari selalu ada pembaharuan data, baik dari lembaga pemerintah ataupun media. Setiap lembaga sosial memberikan tips untuk pencegahan. Setiap orang saling memberikan support dan wejangan. Namun tidak sedikit juga yang panik gara-gara bertebaran beragam informasi tentang Corona.


Salah satunya, informasi yang beredar melalui grup WhatsApp Netizen (PRFM), tentang catatan seorang dokter pada laman media sosialnya. Isinya selain curhat, sang dokter juga mengungkapkan data-data real terinfeksi Corona, di luar data resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Saat artikel ini ditulis (19/03/2020), saya konfirmasi ke nomor WhatsApp sang dokter, namun tidak berjawab. Anggota Grup sudah mulai ada yang waswas.


Hal serupa terjadi dalam grup WhatsApp lain, menyebarkan konten informasi sama yang belum terkonfirmasi kebenarannya, dengan kasus rujukan tautan berbeda. Jika Grup satu bersumber dari sebuah blog. Grup lain berasal dari media online nasional terverifikasi Dewan Pers. Media tersebut menyebarkan berita yang belum terkonfirmasi kebenarannya. Karena dalam grup instan massager tersebut terdapat salah satu redaktur media online, lalu saya tanya, kenapa tidak diangkat pada medianya. Ia memberikan jawaban bijak, “berita seperti ini tidak akan diangkat karena membuat panik warga.”


Beberapa media mainstream menjadikan isu Corona sebagai komodifikasi. Overdosis informasi tentang corona menyebabkan warga panik. Apalagi saat media online terverifikasi Dewan Pers menjadikan curhatan sebagai berita. Tanpa ada konfirmasi dari sumber bersangkutan. Tanpa melakukan kroscek terhadap sumber lain. Media tersebut juga tidak melakukan jurnalisme data yang membanding-bandingkan dengan data yang ada dalam sistem big data. Ia hanya menyalin dan dijadikan berita. Lalu dimana tanggung jawab media, dimana disiplin verifikasi yang seharusnya dilakukan media, dimana keberimbangan berita yang seharusnya menjadi basis pemberitaan.


Peran Warga

Overdosis informasi menjadi kelumrahan di era digital. Hal ini karena setiap orang merasa memiliki hak sama dengan media mainstream untuk berbagi informasi terkini. Para penyebar informasi juga datang dari media personal yang diportalisasi, atau blog dengan domain level utama dan blog dengan domain penyedia jasa (CMS), sampai akun jejaring sosial dengan jumlah fanbase fantastis dan dengan jumlah pertemanan hanya puluhan.


Era digital Setiap orang dimudahkan oleh beragam aplikasi. Kemudahan ini menjadikan berbagi informasi sebagai keniscayaan, bahkan telah mengarah fear of missing out—tidak ingin melewatkan untuk berbagi informasi apapun. Setiap informasi yang beredar dianggap telah given kebenarannya. Kondisi inilah yang menyebabkan kecenderungan terjadinya penyebaran berita yang missinformasi atau justeru disinformasi (hoax).


Oleh karena itu, setiap warga digital harus memiliki antibody terhadap serangan informasi yang sumbernya tidak jelas, kontennya tidak valid, dan wacananya meresahkan. Kita harus skeptis terhadap setiap informasi yang ada. Jangan sampai merugikan cara kita berfikir dan berpesaaan sehingga meresahkan kita sendiri.


Padahal, setiap orang bisa secara mandiri menentukan informasi yang dianggap bermanfaat dan menyeleksinya sesuai kebutuhan atau mengabaikan informasi yang meresahkan kita anggap disinformasi. Kita dapat menjadi agen mandiri informasi dengan melakukan literasi terhadapnya; cek beritanya berasal dari mana, terverifikasikah media tempat publikasinya, terpercayakan sumber rujukannya, apakah judul dengan isi relevan, apakah kontennya masuk akal, atau validkah berita tersebut. Jika semua telah dikroscek dan memenuhi kriteria literasi, beritanya bermanfaat dan memberikan motivasi dan harapan, kita bisa bagikan. Namun jika sebaliknya, alangkah baiknya berita tersebut kita abaikan. Meminjam istilah kekinian dari dr. Gia Pratama melalui novelnya, cukup Berhenti di Kamu.


Melakukan hal tersebut, menjadi bagian dari solusi agar perilaku kita tidak memperburuk keadaan. Minimal jika kita tidak ambil bagian dalam proses aksi pemberantasan Corona,  kita tidak ikut bagian meresahkan masyarakat dengan menyebarkan berita yang tidak jelas sumber dan verifikasinya. Karena tidak setiap orang bersikap skeptis terhadap setiap informasi. Informasi-informasi tersebut sebagiannya dicerna mentah-mentah karena akses dan kemampuan literasi yang minim.


Tanggung Jawab Media

Walaupun telah banyak informasi yang beredar dari beragam institusi melalui situsnya atau personal ahli di bidangnya. Media tetap dibutuhkan kehadirannya oleh masyarakat. Media tetap harus menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya dalam memberikan informasi yang kredibel, valid, dan solutif bagi masyarakat. Alih-alih meresahkan karena mengejar tiras, rating, rangking, dan klik.


Bagi Bapak Jurnalisme Dunia, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku Blur, How to Know What’s True in The Age of Information Overload (2010), kehadiran media diperlukan untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh masyarakat dalam proses moderasi dan kurasi berita. Media diperlukan untuk melakukan autentifikasi berita. Menjelaskan dengan fakta dan bukti tentang berita yang layak dipercaya. Media juga dibutuhkan masyarakat untuk merasionalisasikan lalu lintas informasi.


Kita tahu bahwa overload informasi membuat masyarakat kehilangan keseimbangan dalam menentukan mana berita yang benar dan masuk akal dan mana berita yang bohong. Sehingga seringkali masyarakat menjadi korban kebiadaban disinformasi  yang menyebabkan mereka terkena pasal UU ITE karena menyebarkan berita bohong. Oleh karena itu, kata Bill Kovach dan Rosenstiel, media harus mampu menjadi sense maker. They must look for information that is of value, not just new, and present it in a way so we make sense of it ourselves. Media harus mencari informasi yang bernilai, bukan hanya yang baru, dan menyajikannya sedemikian rupa sehingga masyarakat memahaminya sendiri.


Jika masyarakat masih kesulitan memanfaatkan big data untuk keperluan literasi informasi, maka di sinilah tanggung jawab dan fungsi media. Kovach dan Rosenstiel bilang, media harus menjadi smart agregator. Media harus mampu mengarahkan informasinya ke sumber-sumber yang layak dipercaya. Sehingga dapat menghemat waktu pembaca dalam menelusuri sumber-sumber penting dan kredibel yang dijadikan rujukan oleh media.


Sebagian masyarakat masih belum memahami media-media yang layak dijadikan sebagai sumber rujukan. Bagi awam, informasi yang ditampilkan pada portal, web perusahaan, atau blog-blog dengan domain tingkat utama, tidak ada bedanya, sehingga berita-berita yang disampaikan dianggap terpercaya. Padahal tidak selalu demikian, dengan tujuan monetisasi, seringkali media berbasis weblog melakukan manipulasi fakta dan data, melalui judul-judul yang bombastik.  Sehingga media arus utama harus menjadi role model bagi siapapun.


Media Harus tetap menjadi panutan masyarakat sebagai rujukan informasi yang terpecaya dan solutif. Sehingga di tengah persoalan seperti sekarang, media tidak memperparah keadaan. Bukan  menjadikan keadaan sebagai komoditas, dengan menjadikan informasi yang belum terverifikasi menjadi berita demi mendulang klik. Justeru, kehadiran media tetap diperlukan agar masyarakat tetap waspada tanpa harus panik. Semoga.***[]

sumber: qureta

Setiap hari, netizen selalu mendapatkan suguhan disinformasi yang masuk ke dalam perangkat pribadi; beranda jejaring sosial, linimasa microblog, ataupun pun pesan instan pada grup dan jaringan pribadi. Jabar Saber Hoax misalnya, melaporkan data disinformasi yang dilaporkan warganet sejumlah 27 laporan selama Januari 2023, sejumlal 21 laporan terkonfirmasi sebagai hoax.

Jika dihitung selama satu tahun, jumlah hoax yang beredar bisa mencapai ribuan. Pada Februari 2022, Dirjen Aptika Kominfo mendeteksi sejumlah 2099 hoax yang beredar di sejumlah kanal media sosial. Artinya, bahwa warganet sangat rentan terkena isu hoax setiap harinya.

selengkapnya Detik.com 

Menjadi Haji (Selfie) Dudi Rustandi, Kompas.com

MUSIM haji telah usai. Namun, menyisakan banyak arsip dari beranda pertemanan pada media sosial. Sejak beberapa minggu lalu dipenuhi dengan foto-foto kolega yang sedang melaksanakan ibadah haji. Bahkan saat tulisan ini disuting oleh penulis, masih terdapat kolega yang ber’senang’ ria berwisata di sekitar area berhaji. 

Bahkan saat tulisan ini disuting oleh penulis, masih terdapat kolega yang ber’senang’ ria berwisata di sekitar area berhaji. Fenomena profanitas ruang sakral ini telah terjadi semenjak media sosial sangat populer dan menjadi ruang hiperrealitas bagi warga maya. 

Setiap aktivitas apapun pasti dijadikan sebagai status dan dibagian ke laman media sosial. Tentu saja, fenomena tersebut tidak hanya berlaku bagi generasi internet, yang dikategorikan oleh Don Tapscot, berasal dari generai Y atau millenial (kisaran umur 42 s.d. 22) dan generasi Z yang saat ini sedang duduk di bangku SLTA dan kuliah. Selanjutnya KLIK [Kompas.com]


Herry Wiryawan akhirnya mendapatkan vonis hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung, setelah sebelumnya mendapatkan putusan hukuman seumur hidup. Putusan ini terjadi kala Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding. Selain putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum juga menuntut agar membekukan asset-aset terpidana mati, seperti diberitakan oleh deskjabar, jaringan Pikiran Rakyat pada Senin (04/04/2022).

Perbuatan biadab yang dilakukan oleh terpidana mati tersebut merupakan puncak gunung es dari sejumlah kasus yang serupa pada tahun 2021 tersebut. Karena pada saat kasusnya bergulir di penghujung tahun 2021, muncul juga beberapa kasus serupa yang dilakukan oleh ‘ustadz’ atau yang merepresentasikan penjaga moral dari lingkungan Lembaga Pendidikan, tidak hanya satu atau dua. Bahkan korbannya lebih banyak dari yang dilakukan oleh Herry Wiryawan. Kasus serupa tersebar di sejumlah daerah Jawa Barat seperti di Depok dan Tasikmalaya juga di Jawa Tengah dan Sumatera Selatan. Kasus terakhir terekam dari berita nasional, seorang pimpinan pondok pesantren di Kutai Kartanegara memperkosa santrinya yang masih berusia 15 tahun.

Pada saat tulisan ini akan diunggah (21/05/2022), ada kasus baru, seorang pengasuh pesantren melakukan hal serupa, mencabuli santrinya. [LINK]

Semiotika Agama

Peci, walaupun sebagai tanda budaya di Nusantara, namun dalam konteks lokalitas, menunjukkan seseorang yang punya ikatan kuat dengan agamanya, Islam. Seorang muslim yang menunjukkan penanda tersebut, apalagi dipadupadankan dengan penanda lain misalnya baju takwa maka akan terjadi kesepakatan makna bahwa orang tersebut religious, sholeh, atau sekurang-kurangnya orang baik. Jika disandarkan pada seorang perempuan berkerudung (hijab) ditunjang dengan pakaian syar’i lainnya, seperti pakaian yang tertutup serupa kaftan atau gamis, hal serupa akan berlaku.

Jika penanda tersebut dipakai oleh seorang guru yang mengajarkan tentang moral termasuk perangkat agama seperti bahasa arab atau kitab kuning, maka kita akan sepakat guru tersebut adalah orang baik dan berakhlak.  Maka lekatlah Sang Guru dengan sebutan ustadz atau guru agama.

Ustadz atau guru agama tentu memiliki rekam jejak yang baik sebelum ia dipercayai oleh masyarakat untuk mengajar anak-anaknya belajar agama di suatu Lembaga Pendidikan agama seperti majelis taklim atau pondok pesantren. Sehingga eksistensi ustadz selalu memiliki relasi kuat dengan Lembaga tersebut. Kolaborasi penanda peci, ustadz, dan pesantren menghasilkan kesepakatan akan pengahayatan yang taat terhadap agama. Sehingga melahirkan petanda orang-orang yang baik, berakhlak. Sampai di sini kita sepakat.

Tampaknya kesepakatan ini tidak pernah berubah, sehingga Ketika penjaga moral tersebut melakukan kesalahan fatal, maka hujatan penuh kebencian akan dialamatkan kepada penista ajaran moral tersebut. Karena melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kesepakatan yang telah dijelaskan sebelumnya.

Tanda Sudah Mati!

Belakangan, penanda peci, ustadz, dan pesantren bertolak belakang dengan cita-cita ideal Lembaga penjaga akhlak tersebut. Sehingga tingkat kebiadabannya seakan berlipatganda dibandingkan yang dilakukan oleh orang yang tidak merepresentasikan penjaga moral. Berbagai kasus yang melibatkan ‘ustadz’ menunjukkan bahwa antara penanda dan petanda tidak memiliki relasi lagi. Peci, ustadz, dan pesantren tidak memiliki ikatan yang kuat lagi terhadap representasi nilai-nilai kebaikan.

Artinya dalam tanda tersebut bisa jadi makna lepas begitu saja karena ulah penggunanya. Bahkan bisa menjadi alat kekuasaan para pemburu—meminjam konsep Piliang—Libidonomic. Peci, ustadz, dan pesantren  bisa melekat pada siapa saja bagi mereka yang ingin menggunakan penanda tersebut. Tanpa melakukan seleksi terlebih dahulu, apakah penggunanya betul-betul menghayati cita-cita ideal dari makna penanda yang disepakati atau hanya sebagai alat kekuasaan belaka untuk menuruti apa yang disebut Sigmund Freud sebagai ‘Id’.

Peci, ustadz, pesantren dalam genggaman manusia yang belum sepenuhnya dewasa secara mental, berubah menjadi tanatos, bukan eros. Tanatos adalah bentuk cinta yang merusak, karena ego dan superego tidak mampu mengatur dengan baik sang Id, begitu kira-kira hasil wawancara imajiner dengan Freud, seorang tokoh psikoanalisis. Sehingga penanda peci, ustadz, dan pesantren di tangan seorang pemuja libido merupakan wujud simulasi penanda yang telah diduplikasi, dikopipaste, sehingga menjadi penanda murni. Petandanya pun terlepas dari petanda aslinya sehingga terjadi kekacauan petanda.

Postsemiotika Agama

Kita harus memahami bahwa relasi tanda dari peci, ustadz, dan pesantren dengan penggunanya telah mati. Mereka menggunakan tanda tersebut untuk menutupi  hubungan penanda dan petanda yang sebenarnya. Sebagaimana hasil wawancara imajiner dengan Freud di atas. Para penista agama yang melecehkan peci, ustadz, dan pesantren sedang melakukan apa yang disebut Baudrillard sebagai permainan bebas penanda. Pada dasarnya mereka tidak memiliki marwah penjaga moral, mereka adalah pemuja libidonomic.

Jika kasus seperti ini terus berulang, oknum-oknum pimpinan Lembaga Pendidikan agama dikendalikan oleh Id-tanatos, lambat laun marwah pondok pesantren akan rusak. Padahal, pesantren bagi umat Islam adalah Lembaga Pendidikan yang tidak hanya punya masa depan akhirat tapi juga sekaligus dunia.

Melalui tulisan ini, penulis mengurai relasi kuasa tanda dalam perspektif postsemiotika, agar marwah Pendidikan Islam ini tetap terjaga. Agar masyarakat tidak terpengaruh oleh manusia yang telah menunggangi agama dan merusak citra Lembaga Pendidikan paling tua di Indonesia ini.

Perspektif Postsemiotika, makna benda dalam hal ini hubungan antara penanda dan petanda tidak selalu linear. Oleh karena itu antara peci, ustadz, dan pesantren harus dipisahkan terlebih dahulu dari penggunanya. Meminjam istilah Jacques Derrida, ketiga konsep makna luhung tersebut harus didekonstruksi dari penggunanya. Sehingga kita bisa memilah bahwa perilaku biadab yang dilakukan oleh manusia yang menuruti hawa nafsu (Id-tanatos), sama sekali tidak terkait dengan lembaga pesantren yang dipimpinnya, atau ustadz yang disematkan masyarakat kepada dirinya, atapun peci yang selalu menempel pada kepalanya.

Karena selama ini, antara penanda dan petanda yang hadir dalam konsep peci, ustadz, dan pesantren selalu linear dan terjadi konvensi kemelekatan dalam diri seseorang yang mengenakannya. Faktanya, perusak benteng akhlak tersebut sedang melakukan simulasi diri sebagai orang soleh. Simulasi manusia bermoral tersebut tidak selalu merujuk pada realitas yang sebenarnya karena simulasi bisa jadi bertolak belakang dengan tujuan dan niatnya. Dirinya justeru sedang membuat kekacauan tanda. Agar tidak terbaca bahwa yang mengendalikan nafsunya adalah Id-tanatosnya bukan superego-nya, bukan ayat-ayat kitab suci.

Penanda budaya keagamaan tersebut, dalam relasinya dengan santri, meminjam pandangan Foucault, menjadi alat penganut libidonomic dalam mempraktikkan kekuasannya. Melalui tanda-tanda budaya agama tersebut, penganut libidonomic sedang mencengkeram dengan kuat bagaimana pengaruhnya betul-betul efektif.

Oleh karena itu, kesalahan fatal yang dilakukan oleh pelaku pencabulan, atau pemerkosaan, sama sekali tidak dilakukan oleh seorang ustadz atau pimpinan pondok pesantren, tapi oleh manusia simulatif yang mengacaukan tanda-tanda konvensional peci, ustadz, dan pesantren. Mereka adalah orang-orang yang ahli dalam mengkreasikan tanda-tanda agama dengan dirinya yang menjadi penganut libidonomic.***[]