![]() |
Ilustransi Pluralisme, sumber gambar: justisiadotcom, dudi.my.id |
Menteri Agama yang baru dilantik,
membuat pernyataan yang mengundang penafsiran para pemerhati agama. Bahwa Dia
ingin mengafirmasi eksistensi Syiah dan Ahmadiyah. Walaupun belakangan, bukan
pada kejamaahannya tapi pada kemanusiaannya sebagai warga negara. Bahkan, pada
beberapa narasi berita, muncul pernyataan bahwa Dia menteri bagi agama-agama, tidak
hanya satu agama, yang mungkin selama ini terkesani, bahwa menteri agama itu
hadir hanya untuk agamanya sendiri, Islam. Ini menjadi isu dalam wacaran toleransi dan pluralisme.
Tentu, saya tidak
mempermasalahkan bentuk afirmasi yang pertama atau pernyataan yang kedua,
tentang perlunya afirmasi bagi kelompok Syiah ataupun Ahmadiyah. Atau
pernyataan kedua bahwa menteri bagi semua agama, karena itu sudah seharusnya.
Yang ingin saya soroti dalam
tulisan ini adalah bentuk afirmasi toleransi tetapi sesungguhnya intoleransi.
Narasi ini tidak ditujukan kepada
menteri agama – saja, tapi untuk semua aktivis Islam yang selama ini begitu
getol mengkampanyekan demokrasi dan pluralisme. Misalnya, yang menjadi program
dari Islam Liberal yang mungkin hari ini secara lembaga telah ‘tiada’ atau
tidak lagi memiliki program yang secara agressif mengkampanyekan lagi demokrasi
dalam konteks atau bingkai pluralisme agama.
Pernah, pada suatu kuliah umum
tentang Pancasila, Profesor Musdah Mulia, begitu bersemangat menjelaskan
tentang pentingnya toleransi yang menjadi salah satu kata kunci dalam membumikan
Pancasila. Namun sayang, semangat toleransinya dicoreng oleh narasi tentang
perlunya memberantasi radikalisme yang dilakukan oleh salah satu ormas Islam di
Indonesia. Sehingga, bagi saya, terjadi kontradiksi dalam konsep toleransi yang
yang menjadi kata kunci pluralisme
tersebut.
Kecacatan Logika; Intoleransi dalam Toleransi
Semangat toleransi, harus terejawantahkan
dalam pola dan bentuk diterimanya perbedaan; baik dalam cara berpikir ataupun
bertindak. Kemenerimaan ini bagi saya tanpa syarat. Sehingga setiap
perbedaan-perbedaan itu harus terakomodasi dengan baik tanpa harus mendikotomikan
atau menghilangkan eksistensi satu sama lain. Karena makna berbeda sendiri
tidak menerima syarat apapun. Keberagaman itu meniscayakan perbedaan.
Namun, pada praktiknya, golongan
yang sering kali dicap liberal tersebut, ternyata hanya berpindah posisi saja.
Karena pada praktiknya, secara logika, mereka tidak mampu menerima perbedaan dalam
berpikir dan bersikap. Buktinya, mereka seakan benci terhadap ormas-ormas yang
berbeda tersebut; misalnya saja, mengapa mereka mempermasalahkan keberadaan FPI
atau mengapa mereka justeru ingin membubarkan ormas yang tidak sejalan dengan
pemikiran mereka?
Apakah ini logika toleransi? justeru
dengan berpikir dan bersikap ingin ‘membumihanguskan’ kelompok yang berbeda
dengan cara berpikir liberalismenya, telah terjadi kekacauan logikanya sendiri,
yang tidak bisa saya pahami. Mereka tidak bisa menerima perbedaan yang diusung
oleh kelompok-kelompok yang oleh dirinya sendiri disebut sebagai radikal dan
pundamentalis.
Bagi saya, ini bentuk kekacauan
atau justeru kecacatan logika para pemikir liberal, yang pada satu sisi ingin
menerima perbedaan kelompok-kelompok yang dianggap minoritas, sementara di sisi
lain, kelompok-kelompok berbada yang selalu vokal dan eksis dalam bersosial
masyarakat justeru ingin didelet dari aktivitas hukum di Indonesia, seperti
yang terjadi pada HTI.
Tentu saja, saya tidak sedang
membela HTI ataupun FPI yang selama ini berseberangan dalam cara berpikir
ataupun bertindak dengan kelompok liberal tersebut. Tapi justeru saya ingin
mengajak berdiskusi tentang makna tentang pluralisme atau setidaknya pada batas
pluralitas.
Jika saja, pikiran kita tidak
bisa menerima perbedaan karena seringkali kaum liberal sering menjadi sasaran
tembak kelompok radikal dan pundamental tersebut, maka esensi toleransi yang
selama ini menjadi ‘barang dagangan intelektual’ mereka sesungguhnya nihil.
Tidak memiliki nilai sama sekali. Justeru terlihat kekacauan cara berpikir
mereka. Mereka telah mencederai esensi toleransi sendiri menjadi bentuk
intoleransi.
Kehadiran menteri agama baru, Gus
Yaqut, yang menjadi menteri bagi semua agama, bukan hanya bertindak keluar
sebagai muslim yang melindungi semua agama tanpa perbedaan. Tapi juga
melindungi anggota ormas beragama, yang selama ini tercerabut haknya untuk
bersuara, berkumpul, dan berpendapat. Dan saya pikir itu akan sangat bijak.
Begitu juga dengan para
intelektual muslim yang selama ini menjadi corong pluralisme agama harus mampu
merangkul saudaranya sendiri yang selama ini berbeda cara berpikirnya, untuk
sedikit memberikan peluang kepada mereka agar bisa berdialong tentang
perbedaan-perbedaan tersebut. Sehingga mereka yang mengaku sebagai muslim moderat,
bisa semoderat juga terhadap mereka yang dianggap olehnya sebagai Islam Radikal
atau Pundamental. Agar moderasi ke-Islamannya sah dan tidak tercoreng oleh
kecacatan cara berpikirnya sendiri.
Tulisan sejenis pernah saya tulis tentang intoleransi beragama dalam personal blog Abah Raka.
Semoga.