Profesor, bukan Sekadar Jabatan Akademik! - Dudi Rustandi

Profesor, bukan Sekadar Jabatan Akademik!

Profesor, bukan Sekadar Jabatan Akademik!

Jabatan akademik menjadi salah satu penilaian dalam mengejar nilai perguruan tinggi atau satuan terkecilnya yaitu program studi. Salah satu jabatan akademik adalah profesor. Bahkan profesor menjadi syarat agar suatu program studi dapat dilegalisasi, misalnya untuk pendirian jejang studi Strata 3 (S3).

Pada sisi lain, secara individual, gelar akademik tersebut sebagai suatu pencapaian prestisius seseorang dalam karir akademiknya. Ia merupakan jabatan tertinggi yang diraih seorang dosen. Selain prestisius, berdasarkan beberapa informasi yang didapat, tunjangan akademik profesor cukup tinggi jika dibandingkan dengan gelar jabatan misalnya lektor atau lektor kepala.

Dengan segala kelebihan yang prestisius tersebut, tidak sedikit, dosen yang telah memenuhi kualifikasi pendidikan doktor ingin mengejar jabatan akademik tersebut.

Lalu apa masalahnya? Sebetulnya tidak ada, justeru Indonesia sendiri sangat kekurangan guru besar. Indonesia sangat kekurangan guru besar dalam berbagai bidang studi. Sehingga justeru ketidakhadiran guru besar tersebut menjadi masalah bagi Indonesia.

Namun, justeru muncul masalah baru, karena dari masalah tersebut, terjadi salah kaprah dalam mengejar jabatan tersebut. Misalnya guru besar dikejar karena hanya ingin mengejar prestisius dan tunjangan jabatan, bukan karena kapasitas kecendekiaannya sebagai ilmuwan.  

Saya pernah menulis catatan kecil tentang Menjadi Doktor tanpa Karya dalam personal blog @abahraka. Catatan ini sebetulnya sebagai bentuk keprihatinan, bahwa saat orang-orang mengejar doktor bukan lagi pada persoalan bagaimana meningkatkan kapasitas intelektualitasnya sebagai dosen dan menaikkan kelas menjadi cendekiawan. Namun lebih pada bagaimana mengejar gengsi doktor dan gelar belaka. 

Saya melihat bahwa doktor itu bukan prestisius pada gelarnya, tapi pada produktivitas berkarya sesuai dengan peningkatan kapasitas intelektualnya. Seorang intelektual tidak berhenti pada memikirkan dirinya saja, tapi bagaimana memikirkan sesuatu yang lebih besar lagi, bangsa ini!

Namun pada kenyataannya, mungkin tidak sedikit, bahwa doktor tidak lebih dari sekedar gelar mentereng belaka tanpa diikuti oleh bentuk kepedulian terhadap persoalan-persoalan kebangsaan yang ada di Indonesia. Padahal seperti pernah saya tulis dalam catatan tersebut, mengutip pesan dari Ali Syariati, seorang intelektual Islam dari Iran, mengatakan: 

“Seorang intelektual tercerahkan adalah ia dengan tangan yang sama menuliskan ayat-ayat suci dari langit serta terbenam dalam genangan lumpur dan mengayunkan kayu untuk menyuburkan tanah yang kering, ia berdiri tegak memperjuangkan ayat-ayat Allah dan hak-hak masyarakat”.

Itu satu hal, tentang doktor. Terjadinya peningkatan kapasitas harus diimbangi oleh bentuk dan orientasi masa depan kedoktorannya terhadap persoalan kebangsaan. Salah satu ukuran konkretnya adalah dengan karya-karya nyata intelektual baik berupa konsep ataupun praktis penerapannya di masyarakat.

Lalu bagaimana dengan profesor? 

Profesor bukan Gelar Akademik tapi Jabatan Akademik

Profesor berbeda dengan doktor, jika doktor adalah gelar akademik yang diperoleh dengan sekolahan, dimana saat seseorang telah menyelesaikan jenjang studi S3, maka secara otomatis akan menyandang gelar tersebut. Namun, profesor tidak dengan menempuh studi, tapi bagaimana dedikasi penuh tanggung jawab terhadap ilmunya sehingga menghasilkan karya nyata untuk dunia akademik ataupun masyarakat. Sehingga bukan suatu paksaan dan dipaksakan untuk mendapatkan gelar tersebut sebagaimana halnya jabatan politik. Tapi karena konsentrasi dan keilmuannya yang diakui oleh panggung akademik dalam karirnya sebagai dosen.

Menarik untuk diceritakan, awal-awal masa pandemi, terlibat obrolan dalam proses pengajuan guru besar salah satu perguruan tinggi. Saya melihat secara kapasitas personal memang telah sangat layak. Baik pengabdian, karya, kualitas, serta pengimbangan mental. Dengan kapasitas yang dimiliki, saya yakin jika mereka memang layak mendapat gelar paling tinggi sebagai dosen, yaitu guru besar.

Namun, di luar itu semua, beberapa yang telah keluar kepangkatannya, justeru terlalu dipaksakan. Karena berkarya bukan berangkat dari keresahan dan kepedulian terhadap masyarakat, justeru berkarya untuk mengejar gelar. Bagi saya, ini sangat meresahkan, karena bukan berangkat dari core value sebagai seorang intelektual. Namun, kebutuhan pragmatis mendapatkan gelar tersebut.

Cukup memprihatinkan, saat seseorang yang telah merasa nyaman dengan gelar doktornya tiba-tiba merasa iri karena temannya menjadi profesor, dan ia merasa juga mampu, dan meminta kolega-koleganya untuk membentuk tim dalam penyusunan karya ilmiahnya. 

Saya merasa, gelar prestisius yang didapatkan oleh orang-orang yang memiliki kapasitas intelektual tersebut sedang diturunkan derajatnya secara drastis. Bukan karena tidak boleh menjadi profesor, Tapi lebih karena guru besar oleh para pragmatis ini dianggap bisa dicapai dengan hal-hal teknis dan pragmatis. 

Jika demikian, maka wajar jika pada akhirnya, nanti para guru besar bukan orang-orang yang selalu berfikir besar, tapi berfikir pendek dan kerdil sebagaimana halnya ia melakukan hal-hal pragmatis dalam mendapatkan gelar tersebut.

Wajar jika banyak guru besar yang tidak lagi besar pikirannya, bijak melangkahnya, karena gelar tersebut didapatkan dengan cara-cara instan demi prestise dan tunjangan.

Artinya, jika merasa tidak cukup konsentrasi terhadap kecendekiaan dan intelektualitas, harusnya cukup tau diri. Toh dengan gelar doktor juga sudah lebih dari cukup, apalagi gelar doktornya tersebut tidak digunakan untuk berkayar. Maka jangan rendahkan gelar profesor dengan ego mengejar jabatan dan tunjangan.

 

 


Please write your comments

Terima kasih sudah berinteraksi, mari ciptakan tradisi diskusi agar tulisan menjadi hidup