Jabatan akademik menjadi salah satu penilaian dalam mengejar nilai perguruan
tinggi atau satuan terkecilnya yaitu program studi. Salah satu jabatan akademik
adalah profesor. Bahkan profesor menjadi syarat agar suatu program studi dapat
dilegalisasi, misalnya untuk pendirian jejang studi Strata 3 (S3).
Pada sisi lain, secara individual, gelar akademik tersebut sebagai suatu pencapaian
prestisius seseorang dalam karir akademiknya. Ia merupakan jabatan tertinggi
yang diraih seorang dosen. Selain prestisius, berdasarkan beberapa informasi
yang didapat, tunjangan akademik profesor cukup tinggi jika dibandingkan dengan
gelar jabatan misalnya lektor atau lektor kepala.
Dengan segala kelebihan yang prestisius tersebut, tidak sedikit, dosen yang
telah memenuhi kualifikasi pendidikan doktor ingin mengejar jabatan akademik
tersebut.
Lalu apa masalahnya? Sebetulnya tidak ada, justeru Indonesia sendiri sangat
kekurangan guru besar. Indonesia sangat kekurangan guru besar dalam berbagai
bidang studi. Sehingga justeru ketidakhadiran guru besar tersebut menjadi masalah
bagi Indonesia.
Namun, justeru muncul masalah baru, karena dari masalah tersebut, terjadi
salah kaprah dalam mengejar jabatan tersebut. Misalnya guru besar dikejar
karena hanya ingin mengejar prestisius dan tunjangan jabatan, bukan karena
kapasitas kecendekiaannya sebagai ilmuwan.
Saya pernah menulis catatan kecil tentang Menjadi
Doktor tanpa Karya dalam personal blog @abahraka.
Catatan ini sebetulnya sebagai bentuk keprihatinan, bahwa saat orang-orang
mengejar doktor bukan lagi pada persoalan bagaimana meningkatkan kapasitas
intelektualitasnya sebagai dosen dan menaikkan kelas menjadi cendekiawan. Namun
lebih pada bagaimana mengejar gengsi doktor dan gelar belaka.
Saya melihat bahwa doktor itu bukan prestisius pada gelarnya, tapi pada
produktivitas berkarya sesuai dengan peningkatan kapasitas intelektualnya.
Seorang intelektual tidak berhenti pada memikirkan dirinya saja, tapi bagaimana
memikirkan sesuatu yang lebih besar lagi, bangsa ini!
Namun pada kenyataannya, mungkin tidak sedikit, bahwa doktor tidak lebih
dari sekedar gelar mentereng belaka tanpa diikuti oleh bentuk kepedulian
terhadap persoalan-persoalan kebangsaan yang ada di Indonesia. Padahal seperti
pernah saya tulis dalam catatan tersebut, mengutip pesan dari Ali Syariati,
seorang intelektual Islam dari Iran, mengatakan:
“Seorang intelektual tercerahkan adalah ia dengan tangan yang sama menuliskan ayat-ayat suci dari langit serta terbenam dalam genangan lumpur dan mengayunkan kayu untuk menyuburkan tanah yang kering, ia berdiri tegak memperjuangkan ayat-ayat Allah dan hak-hak masyarakat”.
Itu satu hal, tentang doktor. Terjadinya peningkatan kapasitas harus
diimbangi oleh bentuk dan orientasi masa depan kedoktorannya terhadap persoalan
kebangsaan. Salah satu ukuran konkretnya adalah dengan karya-karya nyata intelektual
baik berupa konsep ataupun praktis penerapannya di masyarakat.
Lalu bagaimana dengan profesor?
Profesor bukan Gelar Akademik tapi Jabatan Akademik
Profesor berbeda dengan doktor, jika doktor
adalah gelar akademik yang diperoleh dengan sekolahan, dimana saat seseorang
telah menyelesaikan jenjang studi S3, maka secara otomatis akan menyandang gelar
tersebut. Namun, profesor tidak dengan menempuh studi, tapi bagaimana dedikasi
penuh tanggung jawab terhadap ilmunya sehingga menghasilkan karya nyata untuk
dunia akademik ataupun masyarakat. Sehingga bukan suatu paksaan dan dipaksakan
untuk mendapatkan gelar tersebut sebagaimana halnya jabatan politik. Tapi
karena konsentrasi dan keilmuannya yang diakui oleh panggung akademik dalam
karirnya sebagai dosen.
Menarik untuk diceritakan, awal-awal masa
pandemi, terlibat obrolan dalam proses pengajuan guru besar salah satu
perguruan tinggi. Saya melihat secara kapasitas personal memang telah sangat
layak. Baik pengabdian, karya, kualitas, serta pengimbangan mental. Dengan
kapasitas yang dimiliki, saya yakin jika mereka memang layak mendapat gelar
paling tinggi sebagai dosen, yaitu guru besar.
Namun, di luar itu semua, beberapa yang telah
keluar kepangkatannya, justeru terlalu dipaksakan. Karena berkarya bukan
berangkat dari keresahan dan kepedulian terhadap masyarakat, justeru berkarya
untuk mengejar gelar. Bagi saya, ini sangat meresahkan, karena bukan berangkat
dari core value sebagai seorang intelektual. Namun, kebutuhan pragmatis
mendapatkan gelar tersebut.
Cukup memprihatinkan, saat seseorang yang telah
merasa nyaman dengan gelar doktornya tiba-tiba merasa iri karena temannya
menjadi profesor, dan ia merasa juga mampu, dan meminta kolega-koleganya untuk
membentuk tim dalam penyusunan karya ilmiahnya.
Saya merasa, gelar prestisius yang didapatkan
oleh orang-orang yang memiliki kapasitas intelektual tersebut sedang diturunkan
derajatnya secara drastis. Bukan karena tidak boleh menjadi profesor, Tapi
lebih karena guru besar oleh para pragmatis ini dianggap bisa dicapai dengan
hal-hal teknis dan pragmatis.
Jika demikian, maka wajar jika pada akhirnya, nanti para guru besar bukan
orang-orang yang selalu berfikir besar, tapi berfikir pendek dan kerdil sebagaimana
halnya ia melakukan hal-hal pragmatis dalam mendapatkan gelar tersebut.
Wajar jika banyak guru besar yang tidak lagi
besar pikirannya, bijak melangkahnya, karena gelar tersebut didapatkan dengan
cara-cara instan demi prestise dan tunjangan.
Artinya, jika merasa tidak cukup konsentrasi
terhadap kecendekiaan dan intelektualitas, harusnya cukup tau diri. Toh dengan
gelar doktor juga sudah lebih dari cukup, apalagi gelar doktornya tersebut tidak
digunakan untuk berkayar. Maka jangan rendahkan gelar profesor dengan ego
mengejar jabatan dan tunjangan.