Mengapa harus Auto Plagiarism? - Dudi Rustandi

Mengapa harus Auto Plagiarism?

Mengapa harus Auto Plagiarism?

sumber gambar: TurnitIn

Awal tahun 2020, seorang kolega, calon guru besar mendapatkan surat pencabutan terhadap karyanya yang diterbitkan jurnal berreputasi nasional, Sinta 2. Hal ini, karena terdeteksi sang calon profesor tersebut melakukan publikasi ganda. Dalam dunia akademik, publikasi ganda ini disebut dengan autoplagiarism atau self plagiarism. Suatu bentuk plagiat yang dilakukan oleh diri sendiri.

Saya tidak ingin menperdebatkan tentang definisi plagiasi atau istilah plagiasi yang dilakukan oleh diri sendiri. Namun yang jelas, publikasi ganda tersebut akan mencoreng nama baik penulis di mata publisher. Wacana yang dimunculkan para publisher, khusus pengelola jurnal salah satu asosiasi, bahwa jika seorang penulis kedapatan melakukan hal tersebut, maka akan diblacklist. Mengerikan sekaligus membuat mandesu.

Belakangan, seorang Rektor terpilih yang belum dilantik salah satu perguruan tinggi di Indonesia, mengalami nasib serupa, ia dianggap melakukan autoplagiarism. Jelasnya, autoplagiarism yang dituduhkan oleh kampus pada Rektor terpilih tersebut merupakan double publikasi. Satu tulisan akan tetapi dipublikasikan pada dua media yang berbeda.

Peristiwa ini menjadi pukulan telak bagi dunia akademik, apalagi yang terkena masalah adalah seorang Rektor terpilih pada perguruan tinggi ternama. Terlepas soal prestise akademik baik jabatan struktural atau jabatan fungsional yang telah diraih oleh aktor tersebut. Saya memiliki catatan secara umum, tidak hanya merujuk pada dua kasus tersebut di atas yang mencoreng personal dan sekaligus akademik.

Pertama, pada tulisan tentang Dosen sebagai Cendekiawan, seharusnya seorang yang berprofesi dosen selalu resah dengan keadaan sekitarnya. Keresahan tersebut karena faktor internalisasi kepekaan yang mendalam pada peristiwa-peristiwa etis dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat dan bangsanya. Hal yang pertama yang menjadi masalah adalah karena ketidakpekaan seorang dosen tersebut terhadap isu-isu sehari-hari. Sesuai dengan latar belakang keilmuannya.

Saya melihat jika seorang dosen peka terhadap isu-isu kemasyarakat ataupun kebangsaan, akan begitu banyak ide yang dapat menjadi bahan riset sehingga untuk mengirimkan hasil riset/ tulisan ke publisher. Bukankah dosen per setiap 6 bulan sekali harus memiliki draft penelitian yang siap dipublikasikan atau telah dipublikasikan?

Kedua, dosen tidak fokus pada tugas profesionalismenya. Ini juga jelas bahwa dosen memiliki kewajiban penelitian, plus publikasi. Atau hasil penelitian yang dipublikasikan. Jika saja setiap dosen per semesternya memiliki draft yang siap dikirim ke publisher, bukankah tidak perlu mengirimkan satu artikel ke beberapa publisher?

Ketiga, dengan latar belakang tersebut, artinya dosen tidak paham tentang dunia penerbitan jurnal juga terkait dengan aturan-aturan yang ada di dalamnya. Pada saat saya menulis artikel opini untuk dikirimkan ke media massa. Saya tidak berani mengirimkan satu artikel yang sama ke dua media yang berbeda. Karena jika kedua-duanya terbit dengan tulisan yang sama, ini menjadi malapetaka bagi penulis tersebut. Karena jika diketahui, penulis tersebut akan diblacklist sebagai penulis rubrik opini media massa tersebut. Oleh karena itu, saya tidak pernah mengirimkan satu tulisan yang sama ke media yang berbeda.

Keempat, dari semua yang dijelaskan, jelas bahwa ini soal kemiskinan karya yang dihasilkan oleh seorang dosen. Betapapun kesibukkan yang dialami oleh dosen, tapi idealnya atau seharusnya seorang dosen tidak boleh melupakan tugas utamanya tridarma perguruan tinggi; pengajaran, pengabdian, penelisian plus publikasi.

Pada masa lalu, hal yang lumrah jika dosen tiba-tiba tidak masuk kelas tanpa alasan yang jelas, membatalkan perkuliahan dengan cara mendadak. Hari ini dosen dituntut profesional karena pada dasarnya pengajaran merupakan kewajiban  yang menjadi hak mahasiswa. Hal tersebut kini tidak diharapkan, karena yang menjadi ladang amal dosen adalah mahasiswa. Saat kita menghindar dari kewajiban, kita tidak memenuhi hak-hak mahasiswa. Setelah bidang pengajaran selesai, dihadapkan pada persoalan baru, yaitu kepekaan terhadap isu kemasyarakatan dan kebangsaan yang harus mewujud menjadi karya nyata – pengabdian atau penelitian.

Oleh karena itu, menjadi penting peka terhadap isu-isu kekinian di sekitar masyarakat kita, bangsa kita, atau sesuai dengan keilmuan kita yang spesifik agar ide-ide terus bermunculan, sehingga kita tidak kekurangan ide untuk menuliskan karya kita; menjadi pengabdian, penelitian, ataupun publikasi.  Karena hal-hal teknis terkait dengan publishernya dapat dicari dan banyak sekali trik dan teknik agar bisa melakukan publikasi.

Namun ide, gagasan, atau kepekaan cenderung sulit datang tiba-tiba keculi diasah terlebih dahulu. Oleh karena itu, jika pembaca ada yang berniat atau tertarik menjalani profesi sebagai dosen, akan lebih mudah jalannya, jika kepekaan terhadap isu-isu sosial dan kebangsaan yang mengarah pada jati diri cendekiawan terbangun terlebih dahulu. Sehingga karya itu akan dengan sendirinya lahir dari keresahan kita sebagai cendekiawan sekaligus yang berprofesi sebagai dosen.

Catatan ini lebih untuk mengingatkan diri sendiri. Tidak untuk menggurui apalagi terhadap dosen saya sendiri, tentu tidak etis rasanya. Mungkin pengingat terhadap generasi yang sekarang atau akan datang. Jangan sampai karena kita tidak pernah peka, lalu miskin karya, dan akhirnya kita ulangi lagi-ulangi lagi, daur ulang lagi tulisan/ publikasi lama seakan-akan baru. Jangan sampai kita menyesal kemudian. Semoga bermanfaat. ***[]

 

Please write your comments

Terima kasih sudah berinteraksi, mari ciptakan tradisi diskusi agar tulisan menjadi hidup