Dudi Rustandi: Cendekiawan

Sampurasun Wargi

Catatan ini saya dedikasikan untuk dunia seolah-olah '

Catatan Seolah-olah

Portofolio Catatan Receh tentang dunia seolah-olah'

Tampilkan postingan dengan label Cendekiawan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cendekiawan. Tampilkan semua postingan


sumber: islamkafah
Pengantar: Beragam Kasus Nir-etika Dosen

Kasus plagiarism yang dilakukan oleh dosen, pencatutan nama tanpa sepengetahuan yang dicatutnya, hingga penulisan nama dan program studi fiktif sepertinya menjadi kasus yang cukup berwarna di awal tahun 2024 hingga masuk ke pertengahan tahun tersebut.


Dosen yang harusnya menjadi teladan bagi mahasiswanya, justeru melakupan perbuatan tidak patut hingga harus diberhentikan dari jabatannya. Belum lagi kasus dosen yang melakukan sexual harassment dan pada akhirnya di-PHK dari pekerjaannya mengajar. Sedih sih, iya. Marah, juga iya.


Tapi apa yang bisa saya perbuat? Belum lagi mandulnya dosen dalam menyampaikan kritik terhadap isu-isu kebangsaan. Walaupun ada satu dua bersuara, namun nyaris tidak terdengar, karena lebih berisik buzzer-buzzernya. Walaupun belakangan menjelang berakhirnya pemerintahan, semua dosen hampir di semua perguruan tinggi, negeri khususnya mulai bersuara.


Namun bagaimana mau bersuara lantang, jika masalah dengan dirinya sendiri saja belum tuntas.


Simbiosis pragmatis Gelar

Tulisan ini, akan lebih menyoroti persoalan yang menimpa dosen sebagai personal, kenapa bisa melakukan hal-hal yang melanggar etika kedosenannnya yang sangat fatal.


Saya ingin berangkat dari suatu cerita dan fakta ini sepertinya sudah sampai ke media massa. Jika di suatu kampus tertentu, ada satu tim yang menyebut tim adhoc tersebut “tim percepatan guru besar”. Maka terjadilah semacam panen guru besar, sampai-sampai kampus tersebut harus turun akreditasinya karena dianggap melakukan fraud dalam mendorong dosen-dosennya mendapatkan jabatan guru besar.


Tim percepatan guru besar, niatnya baik, bagaimana meningkatkan level suatu program studi, fakultas, bahkan universitas. Bahkan, berdasarkan kabar yang beredar, untuk mendirikan program studi S3 pada suatu kampus, minimalnya harus terdapat dua jumlah guru besarnya. Sehingga terjadi simbiosis mutualisme antara institusi sebagai organisasi dengan individu sebagai penyandang gelar.


Eksistensi suatu program studi, menjadi salah satu bentuk eksistensi dari perguruan tinggi. Wajar jika tim percepatan guru besar ini menjadi semacam trend umum di kampus-kampus yang ingin menaikkan levelnya. Tujuannya jelas adalah pragmatis, baik secara organisasi ataupun individu. Secara individu selain sebagai pencapaian puncak dari karir seorang dosen, secara status sosial juga memiliki level di atas jika seseorang menyandang gelar profesor. Secara kedudukan, menjadi bahan pertimbangan otoritas keilmuan untuk jabatan-jabatan tertentu seperti dekan atau rektor pada lembaga pendidikan.


Secara individu juga, ketika seseorang menyandang gelar akademik professor, maka berdampak terhadap pendapatannya sebagai dosen, karena mendapatkan tunjangan sebagai guru besar yang berkali lipat dibandingkan hanya sebagai dosen. Sehingga secara invidu wajar jika banyak dosen yang mengejar gelar tersebut.


Dosen Cendekiawan

Apakah setiap dosen mampu mencapai karir puncaknya sebagai dosen pada level guru besar? Jawabannya, belum tentu. Kenapa belum tentu? Kasus-kasus di atas sebagai buktinya. Belum lagi kasus yang secara umum bahwa tidak semua dosen dapat menghasilkan riset dan paper berkualitas yang harus dipublikasikan pada jurnal internasional. Terlepas dari wacana tentang kapitalisme publikasi atau kapitalisme ilmiah dan lain sebagainya. Namun, kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa untuk mendapatkan publikasi bereputasi tidak semua menulis buku yang diterbitkan oleh penerbit indie.


Tentu saja ini bukan hanya soal uang, tapi juga soal kemampuan akademik seorang dosen dan juga berjejaring. Beberapa kasus publikasi pada jurnal predator, hingga isu publikasi yang tidak berkualitas menjadi isu umum yang dihadapi oleh perguruan tinggi. Padahal seharusnya publikasi jurnal beruptasi nasional ataupun internasional menjadi salah satu hal yang biasa bagi dosen, sebagaimana halnya mengajar ke kelas. Karena itu menjadi standar kinerja dosen dimanapun. Tridarma perguruan tinggi plus publikasi.


Intelektual Tercerahkan

Hal yang saya cermati, bahkan profesi dosen dianggap sebagai profesi yang bersifat teknis. Mengajar, mengabdi, riset, dianggap teknis belaka. Sehingga dosen yang bermasalah seperti kasus-kasus di atas, bisa jadi tidak memiliki ruh sebagai dosen yang harusnya juga sekaligus sebagai cendekiawan atau intelektual tercerahkan, jika meminjam istilah Ali Syariati.


Sebagai cendekiawan, dosen harus sensitif terhadap persoalan-persoalan di sekitarnya, terlepas dosen tersebut memiliki keahlian pada bidang apa. Kepekaan terhadap lingkungan sosial budaya ekonomi politik atau lainnya dalam isu kebangsaan, menjadi modal dalam melakukan riset dan pengabdian sehingga akan berdampak terhadap pengayaan dan isi pengajarannya di kelas. Sehingga antara mengajar, mengabdi, dan riset plus publikasi menjadi satu paket yang tidak terpisah-pisahkan.


Sensibilitas inilah menjadi modal dasar dari dosen sehingga dosen tersebut memiliki power yang besar untuk menghasilkan karya-karya terbaik yang dipublikasikan. Lalu bagaimana jika dosen tidak memiliki kepekaan yang dimaksud di atas. Muncullah persoalan di atas, dosen kebingungan melakukan riset, karena kebingungan melakukan riset, maka akan kesulitan juga bahan riset apa yang akan dipublikasikan.


Sebagai seorang cendekiawan, akan mendorong akan disalurkan kemana keresahan-keresahan yang dihadapinya tersebut. Sehingga mendorong untuk melakukan pencarian-pencarian yang mendalam baik dari sisi teori, metode, pendekatan, bahkan lembaga publikasinya sendiri yang sesuai dengan ekspertisenya tersebut.


Dosen-dosen yang sejak awal menjadikan profesi dosen hanya persoalan pekerjaan belaka yang bersifat pragramatis akan kesulitas mengembangkannya menjadi bentuk dan hasil karya riset. Karena bagaimanapun, sebagaimana halnya riset secara umum harus didorong untuk rasa ingin tahu yang besar (curiousity). Jika sejak awal tidak diasah kepekaannya, maka akan kesulitan memunculkan rasa ingin tahun tersebut yang menjadi dasar dari kerja-kerja intelektual atau kecendekiaan.


Oleh karena itu, paradigma ketika seseorang memutuskan akan berkarir sebagai dosen bukan pekerjaan, tapi kepekaan terhadap isu dan persoalan-persoalan yang ada di masyarakat. Sehingga untuk menuju karir dosen tinggal mengasah dan memupuk skill-skill teknisnya. 


Namun, jika sejak awal tidak memiliki kepekaan apapun, percayalah, akan kesulitan berkembang. Karena sejatinya seorang dosen adalah seorang cendekiawan dan sudah seharusnye menjadi intelektual tercerahkan. Mansour Faqih mengistilahkannya sebagai intelektual organik.***[]

Jabatan akademik menjadi salah satu penilaian dalam mengejar nilai perguruan tinggi atau satuan terkecilnya yaitu program studi. Salah satu jabatan akademik adalah profesor. Bahkan profesor menjadi syarat agar suatu program studi dapat dilegalisasi, misalnya untuk pendirian jejang studi Strata 3 (S3).

Pada sisi lain, secara individual, gelar akademik tersebut sebagai suatu pencapaian prestisius seseorang dalam karir akademiknya. Ia merupakan jabatan tertinggi yang diraih seorang dosen. Selain prestisius, berdasarkan beberapa informasi yang didapat, tunjangan akademik profesor cukup tinggi jika dibandingkan dengan gelar jabatan misalnya lektor atau lektor kepala.

Dengan segala kelebihan yang prestisius tersebut, tidak sedikit, dosen yang telah memenuhi kualifikasi pendidikan doktor ingin mengejar jabatan akademik tersebut.

Lalu apa masalahnya? Sebetulnya tidak ada, justeru Indonesia sendiri sangat kekurangan guru besar. Indonesia sangat kekurangan guru besar dalam berbagai bidang studi. Sehingga justeru ketidakhadiran guru besar tersebut menjadi masalah bagi Indonesia.

Namun, justeru muncul masalah baru, karena dari masalah tersebut, terjadi salah kaprah dalam mengejar jabatan tersebut. Misalnya guru besar dikejar karena hanya ingin mengejar prestisius dan tunjangan jabatan, bukan karena kapasitas kecendekiaannya sebagai ilmuwan.  

Saya pernah menulis catatan kecil tentang Menjadi Doktor tanpa Karya dalam personal blog @abahraka. Catatan ini sebetulnya sebagai bentuk keprihatinan, bahwa saat orang-orang mengejar doktor bukan lagi pada persoalan bagaimana meningkatkan kapasitas intelektualitasnya sebagai dosen dan menaikkan kelas menjadi cendekiawan. Namun lebih pada bagaimana mengejar gengsi doktor dan gelar belaka. 

Saya melihat bahwa doktor itu bukan prestisius pada gelarnya, tapi pada produktivitas berkarya sesuai dengan peningkatan kapasitas intelektualnya. Seorang intelektual tidak berhenti pada memikirkan dirinya saja, tapi bagaimana memikirkan sesuatu yang lebih besar lagi, bangsa ini!

Namun pada kenyataannya, mungkin tidak sedikit, bahwa doktor tidak lebih dari sekedar gelar mentereng belaka tanpa diikuti oleh bentuk kepedulian terhadap persoalan-persoalan kebangsaan yang ada di Indonesia. Padahal seperti pernah saya tulis dalam catatan tersebut, mengutip pesan dari Ali Syariati, seorang intelektual Islam dari Iran, mengatakan: 

“Seorang intelektual tercerahkan adalah ia dengan tangan yang sama menuliskan ayat-ayat suci dari langit serta terbenam dalam genangan lumpur dan mengayunkan kayu untuk menyuburkan tanah yang kering, ia berdiri tegak memperjuangkan ayat-ayat Allah dan hak-hak masyarakat”.

Itu satu hal, tentang doktor. Terjadinya peningkatan kapasitas harus diimbangi oleh bentuk dan orientasi masa depan kedoktorannya terhadap persoalan kebangsaan. Salah satu ukuran konkretnya adalah dengan karya-karya nyata intelektual baik berupa konsep ataupun praktis penerapannya di masyarakat.

Lalu bagaimana dengan profesor? 

Profesor bukan Gelar Akademik tapi Jabatan Akademik

Profesor berbeda dengan doktor, jika doktor adalah gelar akademik yang diperoleh dengan sekolahan, dimana saat seseorang telah menyelesaikan jenjang studi S3, maka secara otomatis akan menyandang gelar tersebut. Namun, profesor tidak dengan menempuh studi, tapi bagaimana dedikasi penuh tanggung jawab terhadap ilmunya sehingga menghasilkan karya nyata untuk dunia akademik ataupun masyarakat. Sehingga bukan suatu paksaan dan dipaksakan untuk mendapatkan gelar tersebut sebagaimana halnya jabatan politik. Tapi karena konsentrasi dan keilmuannya yang diakui oleh panggung akademik dalam karirnya sebagai dosen.

Menarik untuk diceritakan, awal-awal masa pandemi, terlibat obrolan dalam proses pengajuan guru besar salah satu perguruan tinggi. Saya melihat secara kapasitas personal memang telah sangat layak. Baik pengabdian, karya, kualitas, serta pengimbangan mental. Dengan kapasitas yang dimiliki, saya yakin jika mereka memang layak mendapat gelar paling tinggi sebagai dosen, yaitu guru besar.

Namun, di luar itu semua, beberapa yang telah keluar kepangkatannya, justeru terlalu dipaksakan. Karena berkarya bukan berangkat dari keresahan dan kepedulian terhadap masyarakat, justeru berkarya untuk mengejar gelar. Bagi saya, ini sangat meresahkan, karena bukan berangkat dari core value sebagai seorang intelektual. Namun, kebutuhan pragmatis mendapatkan gelar tersebut.

Cukup memprihatinkan, saat seseorang yang telah merasa nyaman dengan gelar doktornya tiba-tiba merasa iri karena temannya menjadi profesor, dan ia merasa juga mampu, dan meminta kolega-koleganya untuk membentuk tim dalam penyusunan karya ilmiahnya. 

Saya merasa, gelar prestisius yang didapatkan oleh orang-orang yang memiliki kapasitas intelektual tersebut sedang diturunkan derajatnya secara drastis. Bukan karena tidak boleh menjadi profesor, Tapi lebih karena guru besar oleh para pragmatis ini dianggap bisa dicapai dengan hal-hal teknis dan pragmatis. 

Jika demikian, maka wajar jika pada akhirnya, nanti para guru besar bukan orang-orang yang selalu berfikir besar, tapi berfikir pendek dan kerdil sebagaimana halnya ia melakukan hal-hal pragmatis dalam mendapatkan gelar tersebut.

Wajar jika banyak guru besar yang tidak lagi besar pikirannya, bijak melangkahnya, karena gelar tersebut didapatkan dengan cara-cara instan demi prestise dan tunjangan.

Artinya, jika merasa tidak cukup konsentrasi terhadap kecendekiaan dan intelektualitas, harusnya cukup tau diri. Toh dengan gelar doktor juga sudah lebih dari cukup, apalagi gelar doktornya tersebut tidak digunakan untuk berkayar. Maka jangan rendahkan gelar profesor dengan ego mengejar jabatan dan tunjangan.