Dudi Rustandi: Dosen

Sampurasun Wargi

Catatan ini saya dedikasikan untuk dunia seolah-olah '

Catatan Seolah-olah

Portofolio Catatan Receh tentang dunia seolah-olah'

Tampilkan postingan dengan label Dosen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dosen. Tampilkan semua postingan

Saat memilih profesi menjadi dosen, sekaligus harus siap menjadi seorang intelektual. 

Sama hal seperti profesi lain, misalnya seorang bidan atau dokter, yang harus mendedikasikan diri pada bidang kesehatan, menjadi tulang punggung masyarakat saat membutuhkan bantuan. Dokter atau bidan harus siap 24 jam jika betul-betul dalam keadaan darurat.

Bagaimana pengorbanan dokter saat pandemi, mereka rela meregang nyawa demi menyelamatkan anak bangsa dari rongrongan corona virus. Berapa puluh atau ratus dokter yang meninggal akibat terkena dampak virus corona di Indonesia. Perjuangan mereka betul-betul sangat maksimal dan tidak bisa diganti dengan tunjangan apapun.

Bidan, mereka harus siap siaga saat masyarakat membutuhkan bantuan kelahiran. Tanpa pandang bulu siapa yang akan melahirkan, miskin atau kaya. Mereka terikat oleh sumpah profesi mereka sebagai dokter atau bidang, suatu profesi yang mulia. Menjadi penyambung hidup masyarakat luas. 

Begitu juga dengan wartawan/ jurnalis. Mereka terikat sumpah kode etik jurnalistik untuk memperjuangkan kebenaran, walaupun nyawa taruhannya. Berapa puluh wartawan yang gugur karena persekusi karena memperjuangkan kebenaran. 

Serupa, walaupun tidak sama, profesi dosen. Profesi utama memberikan pencerahan kepada masyarakat baik berupa transfer ilmu pengetahuan, pembentukan karakter masyarakat, riset, ataupun pengadian termasuk memberikan pencerahan hasil dari itu semua berupa publikasi.

Sebagai seorang yang memiliki kapasitas intelektual karena pendidikan serta keluasan wawasannya, aktivitas dosen tidak hanya menjadi produsen ilmu, tidak hanya menerapkan ilmunya kepada masyarakat dengan melakukan pengabdian. Ia juga harus mampu membuka mata masyarakat agar bisa bersikap kritis terhadap hidupnya. Ia harus mampu membawa masyarakat ke jalan yang terang untuk mencapai cita-citanya.

Sebagai seorang cendekiawan atau intelektual, dosen harus selalu memiliki sikap selalu resah denga keadaan bangsanya. Dosen harus mampu menyikapi secara kritis dengan persoalan-persoalan kemasyarakatan di sekitarnya. 

Oleh karena itu, tugas dosen tidak cukup tridarma, tapi juga persoalan substansial yang dihadapi oleh bangsa ini. Keluar dari persoalan-persoalan bangsa. Memang cukup berat, karena tidak semua dosen memiliki kapasitas ini. Tapi jika  boleh kembali ke titik awal sebelum menjadi dosen, seharusnya kapasitas ini terpenuhi terlebih dahulu oleh calon dosen.

Lalu bagaimana faktanya?

Nah inilah yang menjadi persoalan. Jangankan kritis terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan, termasuk saya sendiri, justeru terkungkung oleh persoalan-persoalan pragmatis kehidupan sehari-hari. Jauh-jauh, menyampaikan sikap kritis terhadap persoalan yang dihadapi oleh bangsa, menyampaikan secara terstruktur dan sistematis saja pemikiran kritis tidak mampu. Ini tentu menjadi persoalan tersendiri dan serius. 

Maka tidak heran, jika pada akhirnya menjadi dosen tidak jauh berbeda dengan sebuah pekerjaan yang hanya untuk mengejar dan memenuhi kebutuhan hidup belaka. Walaupun bukan sesuatu hal yang harus dipermasalahkan, karena dosen juga memiliki kehidupannya sendiri. 

Saya tergerak dengan kehidupan para cendekiawan yang konsentrasi terhadap perjuangan anak bangsa hingga keluar dari persoalan kebangsaannya sendiri. Bagaimana jadinya seorang Soekarno jika hanya mementingkan hidupnya sendiri, bagaimana jika Hatta  hanya memikirkan ekonomi pribadinya saja, apa jadinya bangsa ini jika sekelas Tan Malaka hanya mengejar prestise pemikiran hanya untuk gaya-gayaan. 

Mereka adalah kaum cendekiawan yang mampu membawa bangsa dari kemelut, mereka adalah intelektual sejati yang tidak memikirkan lagi dirinya sendiri. Mementingkan kehidupan berbangsa dan bernegara di atas kepentingan dirinya sendiri.

Tentu saja, jauh panggang dari Api antara saya dengan mereka. Tidak dapat dibandingkan sedikitpun. Namun, sebagai sebuah catatan, ingin mengingatkan terhadap diri sendiri, bahwa ada tugas-tugas di luar tridarma yang menunggu agar tetap berpegang pada nilai intelektualitas, bukan hanya administratif kedosenan. Karena sejatinya dosen adalah seorang intelektual yang harus selalu resah menyaksikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh bangsanya sendiri.