Dudi Rustandi: Guru Gembul

Sampurasun Wargi

Catatan ini saya dedikasikan untuk dunia seolah-olah '

Catatan Seolah-olah

Portofolio Catatan Receh tentang dunia seolah-olah'

Tampilkan postingan dengan label Guru Gembul. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Guru Gembul. Tampilkan semua postingan

Foto koleksi pribadi, sekadar pemanis.

Ingat Buku Garut Kota Iluminati dan The Lost of Athlantis


Suatu kali, ketika sedang ramai isu dan pemberitaan tentang Gunung Piramida di Garut. Muncullah buku berjudul ‘Garut Kota Iluminati’.


Bagi saya, yang waktu itu sedang sedikit tertarik dengan isu-isu antimaintream dan outofthebox, teralihkan terhadap judul buku tersebut, akhirnya saya beli dan saya baca. Sekilas buku ini relevan dengan bukunya Prof. Arysio Santos, The Lost of Atlantis, yang salah satunya menceritakan tentang Indonesia sebagai Kota Atlantis karena di laut Indonesia terdapat Sungai sebagaimana diceritakan oleh Plato.


Buku dengan ketebalan 675 halaman edisi Indonesia ini, bagi saya, sebagai pembaca, tentu saja memberikan ‘pencerahan’ pengetahuan sekaligus kebanggaan terhadap saya sebagai anak bangsa. Jika benar, Indonesia akan sangat terkenal di dunia. Namun, menyusul bantahan-bantahan terkait dengan Atlantis, maka buku tersebut ikut tenggelam karena kemunculan buku-buku lain sejenis yang membahas tentang Atlantis. Nah termasuk juga buku Garut Kota Iluminati.


Buku Garut kota Iluminati, memang tidak semeyakinkan buku The Lost of Athlantis yang dilengkapi oleh data-data khususnya peta-peta masa lalu, seperti peta Sundaland, tentang Garuda-nya Indonesia dan lainnya. Buku Garut kota Iluminati lebih banyak menyajikan fakta-fakta berdasarkan tuturan lisan, bahkan dari grup-grup virtual.


Akademisi VS Konten Kreator

Sikap saya sama, buku ini memberikan pencerahan dan pengetahuan karena memberikan perspektif yang berbeda tentang Garut, tentang Indonesia, tentang bahasa dan lainnya. Walaupun kemudian, dengan segala hormat dan penghargaan terhadap karya ini, saya menyebutnya buku ini sebagai hiburan belaka.


Kenapa? Nah inilah seperti yang banyak kita saksikan dalam ruang digital, perdebatan ‘ilmiah’ yang terjadi karena polemik Guru Gembul soal ‘Ilmiah’ bagi saya adalah sebagai hiburan intelektual. Karena kerangka ilmiah yang ditawarkan tidak utuh, berpatokan pada yang rasional dan empiris belaka, tanpa riset, dan kedalaman referensi. Lebih substantif lagi, kerangka ilmiah yang dimaksud tidak mencoba untuk menggunakan pendekatan dan paradigma lain.


Misalnya, dalam paradigma dan pendekatan fenomenologi, yang diteliti itu adalah kesadaran manusia. Sudut pandang dari subjektivitas yang dikumpulkan sehingga dapat digeneralisasi. Apakah kesadaran itu harus empiris, dapat dibuktikan melalui panca indra peneliti? Tentu saja tidak, karena melalui kesaksian orang lain. Tidak perlu bukti empiris yang dapat dilihat oleh peneliti, karena dalam kerangka ilmiah ada kesaksian. Kesaksian yang bersifat subjektif. Apakah ini ilmiah? Tentu saja dalam paradigma fenomenologi ini masuk kategori ilmiah.


Maka saat Ustadz Nurudin menjawab pertanyaan Pak Guru Gembul tentang apakah saya Ada? Ada, bukan hanya secara empiris tapi juga rasional. Karena ada itu bukan sekadar empiris tapi konsep filsafat tentang eksistensi seseorang yang bernama Guru Gembul. Bukan sekadar fisiknya, namun juga esensi sekaligus eksistensinya.


Komodifikasi Konten

Terlepas perdebatan tersebut menghasilkan apa, dan yang menang siapa. Catatan kecil ini menitikberatkan lebih kepada membongkar komodifikasi dalam bentuk konten. Filsafat hari ini telah menjadi konten ‘hiburan’ di media sosial. Filsafat sudah menjadi semacam area bermain drama para penikmatnya. Tak ubahnya dengan konten-konten joget di tiktok, kadang konten kreator menjadikan tema filsafat ini sebagai bentuk komodifikasi agar tidak kehabisan ide.


Walaupun tentu saja, harus diakui, ada juga konten-konten filsafat yang bersifat edukasi. Sebagaimana yang secara serius digarap oleh Ngaji Filsafat oleh Fahrudin Faiz, namun konten-konten filsafat yang dibuat oleh konten kreator, menjadi bagian dari mengubah kerumitan filsafat menjadi popularitas filsafat sehingga disukai pengguna. Ini bentuk komodifikasi konten. Nilai edukasi menjadi nilai monet.


Oleh karena itu, apa yang menjadi perseteruan antara Ustadz M. Nuruddin dan Guru Gembul, antara ilmiah versi 1 dan versi 2. Tak ubahnya sebagai bentuk hiburan intelektual. Karena jika ingin sungguh-sungguh mengambil Pelajaran dan mempelajari bagaimana kerangka ilmiah dan apakah Tuhan itu bisa diilmiahkan atau tidak, maka lebih baik langsung belajar pada sumbernya.


M. Nurudin sendiri sudah menerbitkan buku-buku yang terkait dengan logika sebagai salah satu sumber deskripsi ilmiah, melalui Ilmu mantiq, serta buku lainnya. Guru Gembul menulis tentang tokoh Islam berpengaruh. Selebihnya ratusan konten pada kanal Youtubenya.


Kembali lagi ke Pertanyaan, Apakah Tuhan itu Empiris?

Secara epistemologis, untuk menjawab pertanyaan tersebut, sebetulnya bisa merujuk pada teori kebenaran. Teori kebenaran mana yang paling relevan untuk menjawab pertanyaan tersebut? Yang paling tepat adalah teori kebeneran Revelasi sebagaimana ditulis oleh Poerwadarminta (Kalau tidak salah) dalam bukumnya mengenal Epistemologi. Revelasi adalah kebenaran yang menyandarkan pada wahyu.


Tuhan juga empiris dalam kacamata kebenaran korespondensi maupun koherensi. Kebenaran korespondensi. Pernyataan Tuhan itu empiris berdasarkan fakta-fakta akan eksistensi ciptaannya. Ini bentuk kebeneran korespondensi. Jadi Tuhan itu empiris. Ciptaannya bisa diindra. Jika pun kelima indra itu tidak menangkap keberaadaan Tuhan. Namun, alat berpikir yang oleh AlGhazali disebut rasa menemukan bukti jika Tuhan itu empiris, dapat dirasakan keberadaannya, selain dengan ciptaannya. Tuhan empiris juga koheren, karena menjadi postulat. Pernyataan yang tidak bisa dibantah. Hanya saja makna empiris harus didefinisikan ulang. Bukan hanya soal panca indra. Namun dalam pengalaman sadar manusia dan para penganutnya.


Nah inilah pendekatan fenomenologi. Walaupun Tuhan tidak kasat mata, tidak bisa didengar, namun dapat dilihat oleh mata batin, dapat didengar oleh pendengaran nurani. Coba oservasi terhadap mereka yang menjalankan agama dengan baik. Milyaran orang akan mengatakan pernah bertemu dengan Tuhan, berkomunikasi dengan Tuhan. Bukankah ini empiris, melalui kesaksian orang-orang. Dan ini ilmiah.


Hanya saja terdapat persoalan, paradigma sains barat tidak mengakui. Tidak mengakui bukan berarti tidak empiris. Bukan berarti tidak ilmiah. Ini sama halnya ketika orang yang terkena teluh atau santet, lalu berobat ke dokter, lalu mereka bilang, gak ada apa-apa, sehat kok. Padahal yang pesakitan sangat merasakan sakit yang luar biasa, bukan halusinasi, tapi fakta sakit yang dirasakan, pengalaman si sakit. Ini apa yang disebut oleh John Locke sebagai pengetahuan demonstratif, yang menjadi unsur verifikatif dari pengetahuan instuitif akan eksistensi Tuhan. Tuhan mendemonstrasikan fakta empirisnya terhadap hukum yang berlaku di dunia--ciptaannya. 


Apakah masih tidak mengakui jika Tuhan itu tidak empiris?


Tidak apa-apa namanya juga hiburan intelektual.


Cag,

Bandung 21 Oktober 2024