
‘Gegara’ Kang Jalal, Pernah Diberhentikan Kultum dan Dituduh Syiah
![]() |
Buku-buku Dr. Jalaludin Rakhmat/ Kang Jalal. |
Innalillahi Wainnailaihi Rojiun, Cendekiawan Muslim yang mendalami Tasauf sekaligus filsafat, juga menjadi peletak dasar Psikologi Komunikasi di Indonesia, Jalaludin Rakhmat meninggal dunia. Kabar ini mengagetkan, karena tiba-tiba seorang teman memposting kabar meninggalnya seorang sufi kota tersebut melalui media sosial yang sudah sejak lama jarang dibuka. Ternyata, di grup-grup WhatsApp juga beredar kabar meninggalnya berikut dengan link beritanya. Barulah saya yakin, jika pendiri sekolah Muthahari tersebut telah tiada.
Para pegiat kajian Islam termasuk
mayoritas mahasiswa komunikasi tidak asing lagi dengan nama kang Jalal,
walaupun belakangan santer dituduh sebagai tokoh Syiah di Indonesia, namun
beliau sendiri, pada suatu kajian di Muthahari pernah berkelakar, oleh kalangan
Sunni dianggap Syiah dan oleh Syiah tulen tidak diakui. Ingat kata-kata Ali
Syariati, salah satu tokoh intelektual dalam revolusi Islam Iran, ia tidak
diakui sebagai Syiah, tapi oleh kalangan Sunni sendiri ia memang dianggap Syiah.
Terlepas beliau adalah tokoh Syiah
dan apakah ia juga masih Sunni, yang jelas, ilmunya telah diserap dan diamalkan
oleh jutaan orang di Indonesia. Bukan hanya oleh jamaahnya dari IJABI,
namun juga para sufi kota yang pada masa keemasannya, menjadikannya sebagai
guru spiritual, juga lulusan-lulusan komunikasi yang melewati satu semester
berkenalan dengannya melalui buku Psikologi Komunikasi yang melegenda.
Bagi aktivis kajian Islam,
buku-bukunya sudah sejak lama menjadi rujukan untuk bahan diskusi dan kajian
keislaman, Islam Aktual dan Islam Alternatif menjadi rujukan,
belakangan juga menulis Islam dan Pluralisme. Kang Jalal adalah tokoh
lintas madzhab yang mampu membuka jalan pikiran para peminat kajian Islam sehingga
dengan percikan-percikan pemikirannya mampu menggoda untuk terus berpikir dan
bergerak.
Saya sendiri pertama kali
berkenalan dengan Kang Jalal melalui buku kecil namun cukup menggairahkan untuk
dibaca dan diamalkan, saat mahasiswa, yaitu Rekayasa Sosial. Buku
kumpulan tulisan sejak tahun 1980 ini mampu menyuntikkan semangat kemahasiswaan
saya beberapa belas tahun yang lalu. Tentu, bukan hanya buku ini yang sampai
saat ini masih tersimpan dan sudah beladus karena sering dibuka-buka untuk
dibaca, juga buku yang cukup menyejukkan, karena kang Jalal telah bermetamorfosa
dari seorang pemikir (filsuf) pada masanya menjadi seorang sufi, misalnya
melalui buku Meraih Cinta Ilahi.
Karena peminatan yang cukup
menarik dari pemikiran-pemikiran kang Jalal, saat mahasiswa pernah juga
beberapa kali ikut kajian Ramadhan di Muthahari. Dan memang pikiran-pikirannya
yang nakal mampu meningkatkan gairah membaca dan mengkaji. Walaupun
tidak pernah ikut pengajiannya di Mesjid Al-Munawarah. Ketertarikan terhadap
kajian filsafat dan pemikiran Islam, mengantarkan saya bertemu beberapa kali
dengan beliau di kampus. Setiap kali Ia menyampaikan pemikirannya, selalu ada
yang baru. Dan mungkin inilah yang membuat jamaah kajiannya selalu tertarik
dengan dengan kehadirannya. Selain gaya penyampainnya dengan metode bercerita.
Beruntung, pada saat studi lanjut
di Pascasarjana Ilmu Komunikasi Unpad, pernah beberapa kali bertatap muka dalam
satu mata kuliah. Walaupun hanya 3 kali bertemu, karena Kang Jalal saat itu
menjadi bagian dari tim teaching, tapi hampir semua mahasiswa terkesan
dengan keluasan wawasannya dalam menyampaikan materi. Saat seminar, narasumber
diskusi, ataupun mengisi perkuliah sama menariknya.
Sebelum beliau terjun ke dunia
politik, saya masih mengikuti cerita-cerita baru melalui buku-buku yang selalu
memberikan kejutan. Walaupun buku-bukunya, bisa dibilang lintas kajian. Sosial,
Filsafat, komunikasi, pemikiran Islam. Psikologi Komunikasi, Metode Penelitian,
Meraih Cinta Ilahi, Islam Aktual, Islam Alternatif, Meraih Kebahagiaan, ESQ for
Kids, Kata pengantar Kang Jalal juga sering mewarnai buku-buku pemikiran atau
psikologi, seperti dalam buku-buku terjemahan Ali Syariati dan atau juga
misalnya dalam buku ESQ-nya Danah Zohar dan Ian Marshal yang menganggap bahwa
Spiritualitas itu bersifat materialistik. Kang Jalal memberikan pengantarnya
tentang aliran-aliran psiklogi yang ditutup dengan aliran transpersonal.
Setelah beliau terjun ke politik,
memang menutupi perhatian saya terhadap karya-karya barunya. Atau memang saya
sudah tidak tertarik dengan kajian-kajiannya kang Jalal? Entahlah. Misalnya
dalam kumpulan kata pengantar yang menurut saya sangat menarik, yaitu Afkar
Penghantar. Saat itu saya ingin sekali memiliki buku itu, dari judulnya sudah
begitu seksi, apalagi kata-kata penghantar tersebut berasal dari beragam
penghantar buku-buku yang beragam. Dan tidak berhenti sampai di situ, masih ada
banyak karya kang Jalal yang tidak saya ketahui. Terlepas dari itu, sosok kang
Jalal memiliki pengaruh kuat terhadap cara penikmat kajian berpikir, melalui
buku-bukunya, termasuk saya.
Pengalaman Berharga saat Diberhentikan
Kultum
Pada suatu Jumat entah di tahun
berapa, saya diminta untuk mengisi Kultum. Terus terang, saya bukan tipe agamis
yang mau berbagi pengalaman atau wawasan keagamaan. Karena tidak pede dengan
cara berpikir saya yang memang tidak religius, bahkan mungkin cenderung liberal
atau cenderung abu-abu. Namun, apa boleh kata, karena diminta dan telah
terjadwal akhirnya saya mengisi kultum juga. Pada kesempatan yang lain, saat melakukan
review buku, memang cukup berhasil. Tapi kali ini justeru diminta berhenti.
Kenapa kok diberhentikan?
Ceritanya, karena saya adalah
lulusan komunikasi, maka saat kultum saya pun ingin mengupas ayat-ayat
komunikasi. Saya pun menyampaikan beberapa ayat komunikasi yang tafsirnya saya
dapatkan dari tulisan kang Jalal melalui buku lain, karena saat itu cukup
kesulitan mencari buku Islam Aktual dan Islam alternatif yang di dalamnya ada
tafsir ayat-ayat komunikasi.
Saat saya menyebutkan tentang kutipan
ayat tersebut dari Jalaludin Rakhmat seorang tokoh ilmu komunikasi, tiba-tiba
saya diminta berhenti.
“Cukup. Cukup, cukup..., udah
cukup”, kata tersebut walaupun sudah terjadi beberapa tahun yang lalu, masih
saja terngiang. Karena bagi saya, saya baru bertemu secara langsung berhadapan,
yang menurut saya waktu itu berpikiran sempit.
Sampai akhirnya, saya baru sadar saat dia berkata lagi,” Jalaludin
Rakhmat itu adalah salah satu orang yang haram hukumnya disebutkan di Mesjid,” ujarnya
menggebu-gebu.
Saya, yang setidaknya, beberapa
buku-buku kajian Islam pernah saya baca sangat kaget dan malu, di hadapan
Jamaah, dianggap saya telah menyebut orang yang haram. Hanya saja, waktu itu
saya tidak habis pikir, kenapa bisa, cendekiawan sekelas Kang Jalal, dianggap
haram. Walaupun kemudian saya tahu, ini tidak lebih dari konflik aliran antara
Sunni-Syiah yang telah mendarah daging. Dan kang Jalal dengan Ijabi-nya,
dianggap sebagai tokoh Syiah.
Padahal, saat itu, sedikitpun
tidak terbersit bahwa Kang Jalal itu Syiah. Yang saya pahami, bahwa beliau
adalah seorang ilmuwan komunikasi dan cendekiawan muslim. Saya mengutip karena
dia adalah seorang ilmuwan, bukan seorang ideolog Syiah.
Bisa jadi saya yang tidak tahu
tempat, sok pinter, dan sok mengutip tokoh. Tapi itulah ciri-ciri yang fakir
ilmu, mengutip agar tidak salah, daripada menafsir sendiri. Ya, intinya saya fakir
ilmu, dan orang yang memberhentikan kultum saya, terlalu luas ilmunya, sehingga
sudah tahu bahwa seseorang itu haram disebutkan di mesjid. Okelah saya mengalah
dan akhirnya berhenti, tidak baik juga berdebat tentang sesuatu yang tidak saya
ketahui duduk persoalannya.
Barulah setelah selesai
pengajian, tiba-tiba seorang teman bertanya, Pak Dudi Syiah? Gubrag! Apalagi
ini? Beribadah dengan tradisi dan selalu ikut tahlilan juga shalawatan ketika
ada tetangga yang meninggal atau tasyakuran, berteman dengan banyak teman dari
Persis, saya dituduh syiah hanya gegara mengutip ayat-ayat komunikasi yang
ditafsirkan Kang Jalal. Ikut Kajian juga hanya sekali-kalinya saat ramadhan, saat saya sedang bersemangatnya dunia kajian, ikut kelas formal di kelas hanya 3 kali saat pascasarjana.
Baru dari sini saya sadar, bahwa
pluralitas lingkungan saya sebelumnya tidak bisa dibawa sebagaimana hal yang
normal saat masuk lingkungan baru. Cara saya berpikir tentang sesuatu belum
tentu dianggap baik, walaupun di tempat saya bergaul sesuatu yang biasa-biasa.
Maka, sampai di sini, Kang Jalal bukan hanya telah mengajarkan tentang Dahulukan
Akhlak di Atas Fiqh sebagaimana halnya buku yang ia tulis, tapi juga mengajarkan bagaimana agar kita berhati-hati mengutip, meskipun kutipan tersebut lumrah dan
wajar karena bersifat akademik.
Bagaimana jadinya saat saya
menulis jurnal penelitian saya mengutip buku Metode Penelitian Komunikasi yang kini telah
diperbaharui bersama penulis Akademisi dan peneliti Idi Subandi Ibrahim, juga
buku Psikologi Komunikasi yang telah ditambahkan 2 bab terakhir tentang
psikologi media internet, atau mengutip buku yang diterjemahkannya yaitu
Komunikasi Antar Budaya, atu saat saya menulis thesis juga mengutip dari buku Psikologi
Agama dan Retorika Modern yang dikarang Kang Jalal. Lalu dengan 4 kutipan beruntun dari buku-buku
akademis tersebut, lalu saya dianggap Syiah?
Dus, kini Ustadz Jalal, Kang
Jalal, Jalaludin Rakhmat telah tiada.
Kita berdoa semoga beliau mendapatkan syafaat dari Rosulullah Muhammad
Solallahu Alaihi Wasallam. Dan semoga ilmu yang telah beliau tulis melalui puluhan
buku-bukunya mengalir menjadi amal sholeh. Allohummagfirlahu warhamhu waafihi
wafuanhu. ***[]