![]() |
sumber gambar: iqrodotocom |
Seorang teman, bercerita jika teman kami pada masa kecil, kini lebih religius dan bertambah dewasa dari segi sikap dan perilaku. Dari segi agama, tampak bahwa semakin mencari kedalaman-kedalaman spritual dengan mencari guru-guru hikmah yang bisa memberikan insight keberagamaan bagi dirinya.
Betul saja, apa yang diceritakan oleh teman saya, teman kami
tersebut memang tampak mendalami agama dengan beberapa kali membagikan tautan
tentang kegiatan agama bercorak tasawuf. Yaitu suatu jalan mendekati Tuhan
dengan menyerahkan dirinya untuk beribadah kepada Tuhan. Dengan kata lain,
orang yang menjalankan tasawuf tidak lagi tertarik dengan hal-hal duniawi.
Bagaimana dengan teman saya? Tentu saja tidak atau belum
terjun ke tasawuf, tapi ketertarikannya terhadap agama begitu tinggi, hingga
mencari-cari majelis ta’lim yang sesuai dengan karakteristiknya, yaitu mencari
guru tapi yang tidak menggurui.
Suatu hari bertemu, sambil mengenang masa kecil, kami bercerita ngaler ngidul layaknya teman lama. Dan tibalah pada cerita yang
lebih dalam dan dewasa. Karena faktanya kami bukan lagi remaja. Kami pun
memikirkan masa depan, termasuk juga akhirat sebagai tempat persinggahan
terakhir kelak.
Salah satu yang diceritakan oleh teman kami tersebut,
bahwa pada dasarnya agama telah menjadi sumber malapekata. Salah satunya,
konflik-konflik yang terjadi disebabkan oleh agama. Di Suriah atau Timur Tengah
lainnya. Bahkan kalo kita kembali ke abad pertengahan, agama juga menjadi
sumber kegelapan ilmu pengetahuan sebelum akhirnya muncul renaissans. Bahkan,
atas nama agama, terjadi perampokan besar-besaran dengan memindahkan sumber
ilmu di Baghdad ke Eropa.
Sama halnya dengan Indonesia, agama seringkali menjadi sumber konflik; antara Islam dan Kristen, antara aliran dalam Islam; Sunny-Syiah, atau Sunny-Ahmadiyah.
Hingga akhirnya dia menyimpulkan,
karena agama menjadi sumber malapetaka, maka beginilah cara beragama yang dianutnya, memiliki jalan Sufi atau
lebih tepatnya, bahasa jalan sepi, hanya untuk diri sendiri. Beragama dengan versinya sendiri, yaitu
mencari ketenangan, kedamaian, dan ketentraman jiwa.
Dia berargumen, karena itulah
yang dilakukan oleh orang-orang yang beragama. Bukankah beragama itu harus
mendatangkan ketentraman? Bukankah saat orang beragama itu harus mendatangkan
kedamaian terhadap diri sendiri?
Pada kesimpulan ini, saya tidak
setuju. Karena beragama bukan hanya untuk diri pribadi. Namun juga ada hak
orang lain atas keberagamaan kita.
Seperti apa contohnya? Ya, kita
seringkali mendengar istilah habluminallah habluminannas dan habluminalalam. Saya
tidak akan bicara tentang ayat al-Qur’an, tapi lebih pada fakta keberagamaan
kita sehari-hari.
Apakah saat kita beragama kita
mencari ketenangan? Tidak! Apakah saat kita beragama untuk mencari kedamaian? Saya
kira bukan juga. Ataukah cara kita beragama untuk menghindari konflik? Bukan! Mencari
ketenteraman? Oh tentu saja No! lalu apa?
Itu semua adalah dampak dari kita
beragama. Karena kita dekat dengan Tuhan, kita percaya sekaligus yakin bahwa
Tuhanlah yang menjaga, membimbing, memelihara, serta mengarahkan. Saat kita
fokus pada tujuan kita hidup dengan tuntutan agama, maka ketenangan,
ketentraman, kedamaian akan kita dapat. Tapi bukan tujuan itu sendiri.
Saat kita beragama dengan tujuan
untuk ketentraman, kedamaian, ketenangan hati sementara aspek lain tidak tersentuh,
maka bagi saya itu hanya cara beragama kita yang terlalu egois.
Sama halnya keegoisan teman-teman
kita yang memiliki kelebihan harta lalu dengan bebas bisa umroh belasan kali,
bisa naik haji berkali-kali. Bukankah dalam harta yang dibelanjakan untuk
ongkos tersebut punya hak orang lain agar bisa menunaikan ibadah tersebut?
Saya teringat dengan satu masa The
Dark of Sufism, saat para saleh, hanya mementingkan ibadah kepada Tuhan. Sementara
keadaan masyarakatnya tidak diperhatikan. Beragama macam apa ini, bukankah bentuk beragama yang egois, beragama hanya untuk kepentingan diri kita
sendiri.
Pertanyaan diplomatisnya, bukankah
saat kita syahadat kita tidak hanya bersyahadat kepada Tuhan, tapi juga nabi
sebagai bentuk horizontal dalam beragama. Bukankah saat kita sholat selain cara
kita bertemu dengan Tuhan, diakhiri dengan salam, karena keselamatan itu harus
juga selamat bagi manusia lainnya? Bukankah Zakat selain untuk menyucikan jiwa,
juga untuk membantu saudara kita yang kekurangan? Bukankah saat puasa ada pesan agar kita
merasakan bagaimana penderitaan orang-orang yang kekurangan makan? Bukankah
saat kita berhaji juga ada pesan bagaimana bergaul dengan manusia
lain yang berbeda budaya, pemikiran, cara berpakaian, dengan beragam pangkat
dan jabatan, bahwa hal itu tidak berarti apa-apa di hadapan Tuhan?
Oleh karena itu, beragama, bukan
hanya untuk diri sendiri, namun juga punya nilai ekstrinsik,
sehingga harus selalu melihat ke luar. Beragama memang
persoalan individu, namun jika kita tengok di Indonesia, beragama diatur oleh negara,
artinya bahwa ada keterlibatan yang tidak terpisah dengan orang lain sehingga
perlu melibatkan aturan negara.
Tulisan ini, hanya catatan kecil dalam kehidupan kita sehari-hari, karena pemahaman agama kita yang kecil sehingga seringkali kita mengklaim cara beragama kita yang benar. Sehingga bisa menjadi pembelajaran bahwa agama itu tidak sempit. Kita perlu belajar lagi agar kehadiran kita dalam beragama dirasakan manfaatnya bagi orang lain, bukan menjadi sumber konflik atau malapetaka, sehingga agama terrealisasi menjadi rahmatalilalamin. Amin. ***[]