Dudi Rustandi: Opini

Sampurasun Wargi

Catatan ini saya dedikasikan untuk dunia seolah-olah '

Catatan Seolah-olah

Portofolio Catatan Receh tentang dunia seolah-olah'

Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Cerita Sukses bukan (hanya) Milik Selebriti

ilustrasi, sumber medhy hidayat

Cerita sukses kreator konten yang mendulang rupiah dari ruang digital bukan lagi milik figur
 publik seperti Atta Halilintar, Dedy Corbuzer, Raffi Ahmad, ataupun pemilik kecakapan digital Agung Hafsah yang sejak usia remaja sudah terampil berbicara di depan publik dengan teknik videografinya. 

Cerita sukses juga milik masyarakat desa yang tidak terhitung jumlahnya. Salah duanya misalnya seperti Jek Deni dari Kawali Ciamis atau Gunawan Sadbor dari kampung Tiktok di Sukabumi.

Cerita kesuksesan tersebut menyebar ke seantero negeri. Bermodal telepon pintar setiap orang ingin meniru kesuksesan mereka, katakanlah begitu. Maka, frasa yang pernah diprediksi pendiri Microsoft Bill Gates 1996 silam tentang The Content is King terbukti, membanjiri ruang digital. Maka berbondong-bondonglah para pengguna media sosial mengubah status bioprofilnya sebagai kreator digital. Padahal belum tentu mereka cukup paham dengan konsep kreator tersebut.


Konten Minus Nilai

Berkedok kreator digital, pengguna sudah mengunggah jutaan konten. Dari konten kata-kata kasar dan tabu hingga pornoaksi. Konten lain menawarkan konsumerisme atau pamer kekayaan dan pencapaian-pencapaian hidup lainnya (fleksing) hingga konten prank. Sebagian lain membohongi pengguna lain atau kreator digital baru atas nama interaksi agar kontennya dibagikan, disukai, dikomentari, atau ditaburi Bintang untuk mendapatkan umpan balik yang sama.


Pada platform seperti Youtube atau Tiktok, ada beberapa kreator digital merasa tidak bersalah dan tanpa dosa saat dengan sengaja melakukan fabrikasi informasi. Menciptakan simulakra yang sama sekali tidak berdasarkan fakta. Pada platform X bahkan konten pornoaksi dibiarkan bebas berseliweran tanpa kontrol.


Berdasarkan data dari dirjen Aptika Komdigi, sejak 2018-2023 terdapat konten negatif sejumlah 3,7 juta konten. Sepanjang tahun 2024, Komdigi juga merilis terdapat 1923 konten hoaks. Sementara, pada awal tahun 2025 terhadap 43 ribu konten negative yang diturunkan oleh Komdigi, khususnya tentang judol.


Teknologi Hawa Nafsu

Ada pepatah usaha tidak mengkhianati hasil. Ini seringkali menjadi kata-kata penuh gairah bagi pengguna yang sudah merasakan cuan dari platform. Sehingga mengundang pengguna lainnya untuk terus mendapatkan rangking dan level tertentu pada platform tersebut.


Pengguna akhirnya dituntut untuk menciptakan kontennya setiap saat. Selain untuk mengejar eksistensi dan keterbacaan algoritma. Mereka juga mengejar level agar naik dan cepat monetisasi. Satu dua kali terlewat untuk menggunggah konten, maka algoritma membacanya sebagai bentuk kinerja yang rendah.


Untuk memenuhi kinerja platform tersebut, pengguna secara serampangan dan membabibuta membagikan konten apapun walaupun melanggar etika dan norma sosial. Beranda pun penuh dengan konten-konten sampah. Konten tersebut tidak hanya merusak pemandangan ruang digital juga merusak pikiran dan mental penggunanya.


Meminjam istilah Rich De Vos (1995) passionate capitalism – kapitalisme hawa nafsu. Pengguna yang mengatasnamakan kreator digital dituntut untuk terus menciptakan konten secara periodik. Bahkan terdapat paham di kalangan pengguna, jika ingin mendapatkan cuan dari platform minimal setiap harinya harus mengunggah sejumlah tiga konten.


Dalam konteks tersebut, teknologi bukan menjadi solusi bagi ekonomi pengguna, justeru menjadi masalah baru karena menjadi umpan bagi hawa nafsu yang tidak terkendali. Meminjam istilah John Naisbith, mereka benar-benar mabuk teknologi.


Eksploitasi Media Sosial

Jika pengguna tersebut selalu bersembunyi di balik kebebasa, justeru sebaliknya, hal sebagai keterikatan yang tidak ada ujungnya. Media sosial menciptakan ketergantungan para penggunanya. Ini bukan lagi FOMO (Fear of missing out) tapi perilaku yang dikendalikan oleh mesin, apa yang disebut Lanier sebagai BUMMER (Behavior of Users Modified and Made into an Empire for Rent). Seolah-olah pengguna bekerja pada platform padahal tidak dibayar sepeserpun—tentu saja ada yang dibayar jika beruntung.


Apa yang diberikan oleh pengguna berupa konten, merupakan bentuk modal tetap dan kekayaan bagi pengembang platform (perusahaan). Menurut Hardt dan Negri dalam Fuch (2021) ini bukan hanya bentuk eksploitasi, namun juga perampasan dan dominasi yang dilakukan oleh kapitalisme digital.


Fenomena ini apa yang diistilahkan oleh Jaron Lanier (2019) sebagai ilusi media sosial. Salah satunya tentang kebebasan. Para kreator konten alih-alih memiliki kebebasan justeru ia dibelenggu oleh tuntutan platform untuk terus memproduksi konten. Konten dengan jumlah penonton banyak hingga menjadi viral justeru menjadi candu bagi penggun.


Perkuat Literasi Digital

Walaupun Komdigi akan mulai mengawasi konten melalui SAMAN (Sistem Kepatuhan Moderasi Konten) seperti diberitakan detik (24/01/2025) namun belum tentu efektif karena sifatnya bertahap dan membutuhkan Sumber Daya. Coba cek platform X yang begitu bebas dengan konten pornografi. Coba cek Tiktok dan Youtube yang penuh dengan konten hoaks. Semua itu masih bebas sampai hari ini.


Jika masyarakat tidak berperan serta, maka satu dua konten yang ditertibkan pemerintah pasti akan muncul lagi. Sebagaimana halnya situs judol, satu mati tumbuh seribu. Padahal sudah jelas konten judol itu terlarang.


Oleh karena itu, peran konkret masyarakat dalam membendung beragam konten negatif dan meresahkan harus digalakkan. Bukan alih-alih terbawa arus dengan tawaran cuan dari platform lalu kemudian kebablasan. Justeru peran warganet dibutuhkan untuk melawan konten-konten negatif dengan melakukan counter konten.


Kita sebagai bagian dari pengguna mari berperan serta berpartisipasi secara konkret menjadi menciptakan konten positif dan menjadi watchdog terhadap konten-konten minus nilai. 1000 koten negatif yang tersebar, marilah kita lawan dengan 10.000 konten postitif, agar algoritma tidak berpihak pada konten yang minus etika. Sehingga konten-konten negatif tidak direkomendasikan oleh platform dan konten positif muncul menjadi BUMMER di ruang digital Indonesia.***[]

Foto koleksi pribadi, sekadar pemanis.

Ingat Buku Garut Kota Iluminati dan The Lost of Athlantis


Suatu kali, ketika sedang ramai isu dan pemberitaan tentang Gunung Piramida di Garut. Muncullah buku berjudul ‘Garut Kota Iluminati’.


Bagi saya, yang waktu itu sedang sedikit tertarik dengan isu-isu antimaintream dan outofthebox, teralihkan terhadap judul buku tersebut, akhirnya saya beli dan saya baca. Sekilas buku ini relevan dengan bukunya Prof. Arysio Santos, The Lost of Atlantis, yang salah satunya menceritakan tentang Indonesia sebagai Kota Atlantis karena di laut Indonesia terdapat Sungai sebagaimana diceritakan oleh Plato.


Buku dengan ketebalan 675 halaman edisi Indonesia ini, bagi saya, sebagai pembaca, tentu saja memberikan ‘pencerahan’ pengetahuan sekaligus kebanggaan terhadap saya sebagai anak bangsa. Jika benar, Indonesia akan sangat terkenal di dunia. Namun, menyusul bantahan-bantahan terkait dengan Atlantis, maka buku tersebut ikut tenggelam karena kemunculan buku-buku lain sejenis yang membahas tentang Atlantis. Nah termasuk juga buku Garut Kota Iluminati.


Buku Garut kota Iluminati, memang tidak semeyakinkan buku The Lost of Athlantis yang dilengkapi oleh data-data khususnya peta-peta masa lalu, seperti peta Sundaland, tentang Garuda-nya Indonesia dan lainnya. Buku Garut kota Iluminati lebih banyak menyajikan fakta-fakta berdasarkan tuturan lisan, bahkan dari grup-grup virtual.


Akademisi VS Konten Kreator

Sikap saya sama, buku ini memberikan pencerahan dan pengetahuan karena memberikan perspektif yang berbeda tentang Garut, tentang Indonesia, tentang bahasa dan lainnya. Walaupun kemudian, dengan segala hormat dan penghargaan terhadap karya ini, saya menyebutnya buku ini sebagai hiburan belaka.


Kenapa? Nah inilah seperti yang banyak kita saksikan dalam ruang digital, perdebatan ‘ilmiah’ yang terjadi karena polemik Guru Gembul soal ‘Ilmiah’ bagi saya adalah sebagai hiburan intelektual. Karena kerangka ilmiah yang ditawarkan tidak utuh, berpatokan pada yang rasional dan empiris belaka, tanpa riset, dan kedalaman referensi. Lebih substantif lagi, kerangka ilmiah yang dimaksud tidak mencoba untuk menggunakan pendekatan dan paradigma lain.


Misalnya, dalam paradigma dan pendekatan fenomenologi, yang diteliti itu adalah kesadaran manusia. Sudut pandang dari subjektivitas yang dikumpulkan sehingga dapat digeneralisasi. Apakah kesadaran itu harus empiris, dapat dibuktikan melalui panca indra peneliti? Tentu saja tidak, karena melalui kesaksian orang lain. Tidak perlu bukti empiris yang dapat dilihat oleh peneliti, karena dalam kerangka ilmiah ada kesaksian. Kesaksian yang bersifat subjektif. Apakah ini ilmiah? Tentu saja dalam paradigma fenomenologi ini masuk kategori ilmiah.


Maka saat Ustadz Nurudin menjawab pertanyaan Pak Guru Gembul tentang apakah saya Ada? Ada, bukan hanya secara empiris tapi juga rasional. Karena ada itu bukan sekadar empiris tapi konsep filsafat tentang eksistensi seseorang yang bernama Guru Gembul. Bukan sekadar fisiknya, namun juga esensi sekaligus eksistensinya.


Komodifikasi Konten

Terlepas perdebatan tersebut menghasilkan apa, dan yang menang siapa. Catatan kecil ini menitikberatkan lebih kepada membongkar komodifikasi dalam bentuk konten. Filsafat hari ini telah menjadi konten ‘hiburan’ di media sosial. Filsafat sudah menjadi semacam area bermain drama para penikmatnya. Tak ubahnya dengan konten-konten joget di tiktok, kadang konten kreator menjadikan tema filsafat ini sebagai bentuk komodifikasi agar tidak kehabisan ide.


Walaupun tentu saja, harus diakui, ada juga konten-konten filsafat yang bersifat edukasi. Sebagaimana yang secara serius digarap oleh Ngaji Filsafat oleh Fahrudin Faiz, namun konten-konten filsafat yang dibuat oleh konten kreator, menjadi bagian dari mengubah kerumitan filsafat menjadi popularitas filsafat sehingga disukai pengguna. Ini bentuk komodifikasi konten. Nilai edukasi menjadi nilai monet.


Oleh karena itu, apa yang menjadi perseteruan antara Ustadz M. Nuruddin dan Guru Gembul, antara ilmiah versi 1 dan versi 2. Tak ubahnya sebagai bentuk hiburan intelektual. Karena jika ingin sungguh-sungguh mengambil Pelajaran dan mempelajari bagaimana kerangka ilmiah dan apakah Tuhan itu bisa diilmiahkan atau tidak, maka lebih baik langsung belajar pada sumbernya.


M. Nurudin sendiri sudah menerbitkan buku-buku yang terkait dengan logika sebagai salah satu sumber deskripsi ilmiah, melalui Ilmu mantiq, serta buku lainnya. Guru Gembul menulis tentang tokoh Islam berpengaruh. Selebihnya ratusan konten pada kanal Youtubenya.


Kembali lagi ke Pertanyaan, Apakah Tuhan itu Empiris?

Secara epistemologis, untuk menjawab pertanyaan tersebut, sebetulnya bisa merujuk pada teori kebenaran. Teori kebenaran mana yang paling relevan untuk menjawab pertanyaan tersebut? Yang paling tepat adalah teori kebeneran Revelasi sebagaimana ditulis oleh Poerwadarminta (Kalau tidak salah) dalam bukumnya mengenal Epistemologi. Revelasi adalah kebenaran yang menyandarkan pada wahyu.


Tuhan juga empiris dalam kacamata kebenaran korespondensi maupun koherensi. Kebenaran korespondensi. Pernyataan Tuhan itu empiris berdasarkan fakta-fakta akan eksistensi ciptaannya. Ini bentuk kebeneran korespondensi. Jadi Tuhan itu empiris. Ciptaannya bisa diindra. Jika pun kelima indra itu tidak menangkap keberaadaan Tuhan. Namun, alat berpikir yang oleh AlGhazali disebut rasa menemukan bukti jika Tuhan itu empiris, dapat dirasakan keberadaannya, selain dengan ciptaannya. Tuhan empiris juga koheren, karena menjadi postulat. Pernyataan yang tidak bisa dibantah. Hanya saja makna empiris harus didefinisikan ulang. Bukan hanya soal panca indra. Namun dalam pengalaman sadar manusia dan para penganutnya.


Nah inilah pendekatan fenomenologi. Walaupun Tuhan tidak kasat mata, tidak bisa didengar, namun dapat dilihat oleh mata batin, dapat didengar oleh pendengaran nurani. Coba oservasi terhadap mereka yang menjalankan agama dengan baik. Milyaran orang akan mengatakan pernah bertemu dengan Tuhan, berkomunikasi dengan Tuhan. Bukankah ini empiris, melalui kesaksian orang-orang. Dan ini ilmiah.


Hanya saja terdapat persoalan, paradigma sains barat tidak mengakui. Tidak mengakui bukan berarti tidak empiris. Bukan berarti tidak ilmiah. Ini sama halnya ketika orang yang terkena teluh atau santet, lalu berobat ke dokter, lalu mereka bilang, gak ada apa-apa, sehat kok. Padahal yang pesakitan sangat merasakan sakit yang luar biasa, bukan halusinasi, tapi fakta sakit yang dirasakan, pengalaman si sakit. Ini apa yang disebut oleh John Locke sebagai pengetahuan demonstratif, yang menjadi unsur verifikatif dari pengetahuan instuitif akan eksistensi Tuhan. Tuhan mendemonstrasikan fakta empirisnya terhadap hukum yang berlaku di dunia--ciptaannya. 


Apakah masih tidak mengakui jika Tuhan itu tidak empiris?


Tidak apa-apa namanya juga hiburan intelektual.


Cag,

Bandung 21 Oktober 2024

 

 

 


Media dan Corona

[https://dudi.my.id] - Indonesia (masih) sedang darurat menghadapi Corona. Persebarannya selama beberapa hari terakhir menunjukkan percepatan yang signifikan, alih-alih melambat karena telah dilakukan social distancing. Setiap hari selalu ada pembaharuan data, baik dari lembaga pemerintah ataupun media. Setiap lembaga sosial memberikan tips untuk pencegahan. Setiap orang saling memberikan support dan wejangan. Namun tidak sedikit juga yang panik gara-gara bertebaran beragam informasi tentang Corona.


Salah satunya, informasi yang beredar melalui grup WhatsApp Netizen (PRFM), tentang catatan seorang dokter pada laman media sosialnya. Isinya selain curhat, sang dokter juga mengungkapkan data-data real terinfeksi Corona, di luar data resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Saat artikel ini ditulis (19/03/2020), saya konfirmasi ke nomor WhatsApp sang dokter, namun tidak berjawab. Anggota Grup sudah mulai ada yang waswas.


Hal serupa terjadi dalam grup WhatsApp lain, menyebarkan konten informasi sama yang belum terkonfirmasi kebenarannya, dengan kasus rujukan tautan berbeda. Jika Grup satu bersumber dari sebuah blog. Grup lain berasal dari media online nasional terverifikasi Dewan Pers. Media tersebut menyebarkan berita yang belum terkonfirmasi kebenarannya. Karena dalam grup instan massager tersebut terdapat salah satu redaktur media online, lalu saya tanya, kenapa tidak diangkat pada medianya. Ia memberikan jawaban bijak, “berita seperti ini tidak akan diangkat karena membuat panik warga.”


Beberapa media mainstream menjadikan isu Corona sebagai komodifikasi. Overdosis informasi tentang corona menyebabkan warga panik. Apalagi saat media online terverifikasi Dewan Pers menjadikan curhatan sebagai berita. Tanpa ada konfirmasi dari sumber bersangkutan. Tanpa melakukan kroscek terhadap sumber lain. Media tersebut juga tidak melakukan jurnalisme data yang membanding-bandingkan dengan data yang ada dalam sistem big data. Ia hanya menyalin dan dijadikan berita. Lalu dimana tanggung jawab media, dimana disiplin verifikasi yang seharusnya dilakukan media, dimana keberimbangan berita yang seharusnya menjadi basis pemberitaan.


Peran Warga

Overdosis informasi menjadi kelumrahan di era digital. Hal ini karena setiap orang merasa memiliki hak sama dengan media mainstream untuk berbagi informasi terkini. Para penyebar informasi juga datang dari media personal yang diportalisasi, atau blog dengan domain level utama dan blog dengan domain penyedia jasa (CMS), sampai akun jejaring sosial dengan jumlah fanbase fantastis dan dengan jumlah pertemanan hanya puluhan.


Era digital Setiap orang dimudahkan oleh beragam aplikasi. Kemudahan ini menjadikan berbagi informasi sebagai keniscayaan, bahkan telah mengarah fear of missing out—tidak ingin melewatkan untuk berbagi informasi apapun. Setiap informasi yang beredar dianggap telah given kebenarannya. Kondisi inilah yang menyebabkan kecenderungan terjadinya penyebaran berita yang missinformasi atau justeru disinformasi (hoax).


Oleh karena itu, setiap warga digital harus memiliki antibody terhadap serangan informasi yang sumbernya tidak jelas, kontennya tidak valid, dan wacananya meresahkan. Kita harus skeptis terhadap setiap informasi yang ada. Jangan sampai merugikan cara kita berfikir dan berpesaaan sehingga meresahkan kita sendiri.


Padahal, setiap orang bisa secara mandiri menentukan informasi yang dianggap bermanfaat dan menyeleksinya sesuai kebutuhan atau mengabaikan informasi yang meresahkan kita anggap disinformasi. Kita dapat menjadi agen mandiri informasi dengan melakukan literasi terhadapnya; cek beritanya berasal dari mana, terverifikasikah media tempat publikasinya, terpercayakan sumber rujukannya, apakah judul dengan isi relevan, apakah kontennya masuk akal, atau validkah berita tersebut. Jika semua telah dikroscek dan memenuhi kriteria literasi, beritanya bermanfaat dan memberikan motivasi dan harapan, kita bisa bagikan. Namun jika sebaliknya, alangkah baiknya berita tersebut kita abaikan. Meminjam istilah kekinian dari dr. Gia Pratama melalui novelnya, cukup Berhenti di Kamu.


Melakukan hal tersebut, menjadi bagian dari solusi agar perilaku kita tidak memperburuk keadaan. Minimal jika kita tidak ambil bagian dalam proses aksi pemberantasan Corona,  kita tidak ikut bagian meresahkan masyarakat dengan menyebarkan berita yang tidak jelas sumber dan verifikasinya. Karena tidak setiap orang bersikap skeptis terhadap setiap informasi. Informasi-informasi tersebut sebagiannya dicerna mentah-mentah karena akses dan kemampuan literasi yang minim.


Tanggung Jawab Media

Walaupun telah banyak informasi yang beredar dari beragam institusi melalui situsnya atau personal ahli di bidangnya. Media tetap dibutuhkan kehadirannya oleh masyarakat. Media tetap harus menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya dalam memberikan informasi yang kredibel, valid, dan solutif bagi masyarakat. Alih-alih meresahkan karena mengejar tiras, rating, rangking, dan klik.


Bagi Bapak Jurnalisme Dunia, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku Blur, How to Know What’s True in The Age of Information Overload (2010), kehadiran media diperlukan untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh masyarakat dalam proses moderasi dan kurasi berita. Media diperlukan untuk melakukan autentifikasi berita. Menjelaskan dengan fakta dan bukti tentang berita yang layak dipercaya. Media juga dibutuhkan masyarakat untuk merasionalisasikan lalu lintas informasi.


Kita tahu bahwa overload informasi membuat masyarakat kehilangan keseimbangan dalam menentukan mana berita yang benar dan masuk akal dan mana berita yang bohong. Sehingga seringkali masyarakat menjadi korban kebiadaban disinformasi  yang menyebabkan mereka terkena pasal UU ITE karena menyebarkan berita bohong. Oleh karena itu, kata Bill Kovach dan Rosenstiel, media harus mampu menjadi sense maker. They must look for information that is of value, not just new, and present it in a way so we make sense of it ourselves. Media harus mencari informasi yang bernilai, bukan hanya yang baru, dan menyajikannya sedemikian rupa sehingga masyarakat memahaminya sendiri.


Jika masyarakat masih kesulitan memanfaatkan big data untuk keperluan literasi informasi, maka di sinilah tanggung jawab dan fungsi media. Kovach dan Rosenstiel bilang, media harus menjadi smart agregator. Media harus mampu mengarahkan informasinya ke sumber-sumber yang layak dipercaya. Sehingga dapat menghemat waktu pembaca dalam menelusuri sumber-sumber penting dan kredibel yang dijadikan rujukan oleh media.


Sebagian masyarakat masih belum memahami media-media yang layak dijadikan sebagai sumber rujukan. Bagi awam, informasi yang ditampilkan pada portal, web perusahaan, atau blog-blog dengan domain tingkat utama, tidak ada bedanya, sehingga berita-berita yang disampaikan dianggap terpercaya. Padahal tidak selalu demikian, dengan tujuan monetisasi, seringkali media berbasis weblog melakukan manipulasi fakta dan data, melalui judul-judul yang bombastik.  Sehingga media arus utama harus menjadi role model bagi siapapun.


Media Harus tetap menjadi panutan masyarakat sebagai rujukan informasi yang terpecaya dan solutif. Sehingga di tengah persoalan seperti sekarang, media tidak memperparah keadaan. Bukan  menjadikan keadaan sebagai komoditas, dengan menjadikan informasi yang belum terverifikasi menjadi berita demi mendulang klik. Justeru, kehadiran media tetap diperlukan agar masyarakat tetap waspada tanpa harus panik. Semoga.***[]

sumber: qureta

Setiap hari, netizen selalu mendapatkan suguhan disinformasi yang masuk ke dalam perangkat pribadi; beranda jejaring sosial, linimasa microblog, ataupun pun pesan instan pada grup dan jaringan pribadi. Jabar Saber Hoax misalnya, melaporkan data disinformasi yang dilaporkan warganet sejumlah 27 laporan selama Januari 2023, sejumlal 21 laporan terkonfirmasi sebagai hoax.

Jika dihitung selama satu tahun, jumlah hoax yang beredar bisa mencapai ribuan. Pada Februari 2022, Dirjen Aptika Kominfo mendeteksi sejumlah 2099 hoax yang beredar di sejumlah kanal media sosial. Artinya, bahwa warganet sangat rentan terkena isu hoax setiap harinya.

selengkapnya Detik.com 

Menjadi Haji (Selfie) Dudi Rustandi, Kompas.com

MUSIM haji telah usai. Namun, menyisakan banyak arsip dari beranda pertemanan pada media sosial. Sejak beberapa minggu lalu dipenuhi dengan foto-foto kolega yang sedang melaksanakan ibadah haji. Bahkan saat tulisan ini disuting oleh penulis, masih terdapat kolega yang ber’senang’ ria berwisata di sekitar area berhaji. 

Bahkan saat tulisan ini disuting oleh penulis, masih terdapat kolega yang ber’senang’ ria berwisata di sekitar area berhaji. Fenomena profanitas ruang sakral ini telah terjadi semenjak media sosial sangat populer dan menjadi ruang hiperrealitas bagi warga maya. 

Setiap aktivitas apapun pasti dijadikan sebagai status dan dibagian ke laman media sosial. Tentu saja, fenomena tersebut tidak hanya berlaku bagi generasi internet, yang dikategorikan oleh Don Tapscot, berasal dari generai Y atau millenial (kisaran umur 42 s.d. 22) dan generasi Z yang saat ini sedang duduk di bangku SLTA dan kuliah. Selanjutnya KLIK [Kompas.com]


Herry Wiryawan akhirnya mendapatkan vonis hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung, setelah sebelumnya mendapatkan putusan hukuman seumur hidup. Putusan ini terjadi kala Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding. Selain putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum juga menuntut agar membekukan asset-aset terpidana mati, seperti diberitakan oleh deskjabar, jaringan Pikiran Rakyat pada Senin (04/04/2022).

Perbuatan biadab yang dilakukan oleh terpidana mati tersebut merupakan puncak gunung es dari sejumlah kasus yang serupa pada tahun 2021 tersebut. Karena pada saat kasusnya bergulir di penghujung tahun 2021, muncul juga beberapa kasus serupa yang dilakukan oleh ‘ustadz’ atau yang merepresentasikan penjaga moral dari lingkungan Lembaga Pendidikan, tidak hanya satu atau dua. Bahkan korbannya lebih banyak dari yang dilakukan oleh Herry Wiryawan. Kasus serupa tersebar di sejumlah daerah Jawa Barat seperti di Depok dan Tasikmalaya juga di Jawa Tengah dan Sumatera Selatan. Kasus terakhir terekam dari berita nasional, seorang pimpinan pondok pesantren di Kutai Kartanegara memperkosa santrinya yang masih berusia 15 tahun.

Pada saat tulisan ini akan diunggah (21/05/2022), ada kasus baru, seorang pengasuh pesantren melakukan hal serupa, mencabuli santrinya. [LINK]

Semiotika Agama

Peci, walaupun sebagai tanda budaya di Nusantara, namun dalam konteks lokalitas, menunjukkan seseorang yang punya ikatan kuat dengan agamanya, Islam. Seorang muslim yang menunjukkan penanda tersebut, apalagi dipadupadankan dengan penanda lain misalnya baju takwa maka akan terjadi kesepakatan makna bahwa orang tersebut religious, sholeh, atau sekurang-kurangnya orang baik. Jika disandarkan pada seorang perempuan berkerudung (hijab) ditunjang dengan pakaian syar’i lainnya, seperti pakaian yang tertutup serupa kaftan atau gamis, hal serupa akan berlaku.

Jika penanda tersebut dipakai oleh seorang guru yang mengajarkan tentang moral termasuk perangkat agama seperti bahasa arab atau kitab kuning, maka kita akan sepakat guru tersebut adalah orang baik dan berakhlak.  Maka lekatlah Sang Guru dengan sebutan ustadz atau guru agama.

Ustadz atau guru agama tentu memiliki rekam jejak yang baik sebelum ia dipercayai oleh masyarakat untuk mengajar anak-anaknya belajar agama di suatu Lembaga Pendidikan agama seperti majelis taklim atau pondok pesantren. Sehingga eksistensi ustadz selalu memiliki relasi kuat dengan Lembaga tersebut. Kolaborasi penanda peci, ustadz, dan pesantren menghasilkan kesepakatan akan pengahayatan yang taat terhadap agama. Sehingga melahirkan petanda orang-orang yang baik, berakhlak. Sampai di sini kita sepakat.

Tampaknya kesepakatan ini tidak pernah berubah, sehingga Ketika penjaga moral tersebut melakukan kesalahan fatal, maka hujatan penuh kebencian akan dialamatkan kepada penista ajaran moral tersebut. Karena melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kesepakatan yang telah dijelaskan sebelumnya.

Tanda Sudah Mati!

Belakangan, penanda peci, ustadz, dan pesantren bertolak belakang dengan cita-cita ideal Lembaga penjaga akhlak tersebut. Sehingga tingkat kebiadabannya seakan berlipatganda dibandingkan yang dilakukan oleh orang yang tidak merepresentasikan penjaga moral. Berbagai kasus yang melibatkan ‘ustadz’ menunjukkan bahwa antara penanda dan petanda tidak memiliki relasi lagi. Peci, ustadz, dan pesantren tidak memiliki ikatan yang kuat lagi terhadap representasi nilai-nilai kebaikan.

Artinya dalam tanda tersebut bisa jadi makna lepas begitu saja karena ulah penggunanya. Bahkan bisa menjadi alat kekuasaan para pemburu—meminjam konsep Piliang—Libidonomic. Peci, ustadz, dan pesantren  bisa melekat pada siapa saja bagi mereka yang ingin menggunakan penanda tersebut. Tanpa melakukan seleksi terlebih dahulu, apakah penggunanya betul-betul menghayati cita-cita ideal dari makna penanda yang disepakati atau hanya sebagai alat kekuasaan belaka untuk menuruti apa yang disebut Sigmund Freud sebagai ‘Id’.

Peci, ustadz, pesantren dalam genggaman manusia yang belum sepenuhnya dewasa secara mental, berubah menjadi tanatos, bukan eros. Tanatos adalah bentuk cinta yang merusak, karena ego dan superego tidak mampu mengatur dengan baik sang Id, begitu kira-kira hasil wawancara imajiner dengan Freud, seorang tokoh psikoanalisis. Sehingga penanda peci, ustadz, dan pesantren di tangan seorang pemuja libido merupakan wujud simulasi penanda yang telah diduplikasi, dikopipaste, sehingga menjadi penanda murni. Petandanya pun terlepas dari petanda aslinya sehingga terjadi kekacauan petanda.

Postsemiotika Agama

Kita harus memahami bahwa relasi tanda dari peci, ustadz, dan pesantren dengan penggunanya telah mati. Mereka menggunakan tanda tersebut untuk menutupi  hubungan penanda dan petanda yang sebenarnya. Sebagaimana hasil wawancara imajiner dengan Freud di atas. Para penista agama yang melecehkan peci, ustadz, dan pesantren sedang melakukan apa yang disebut Baudrillard sebagai permainan bebas penanda. Pada dasarnya mereka tidak memiliki marwah penjaga moral, mereka adalah pemuja libidonomic.

Jika kasus seperti ini terus berulang, oknum-oknum pimpinan Lembaga Pendidikan agama dikendalikan oleh Id-tanatos, lambat laun marwah pondok pesantren akan rusak. Padahal, pesantren bagi umat Islam adalah Lembaga Pendidikan yang tidak hanya punya masa depan akhirat tapi juga sekaligus dunia.

Melalui tulisan ini, penulis mengurai relasi kuasa tanda dalam perspektif postsemiotika, agar marwah Pendidikan Islam ini tetap terjaga. Agar masyarakat tidak terpengaruh oleh manusia yang telah menunggangi agama dan merusak citra Lembaga Pendidikan paling tua di Indonesia ini.

Perspektif Postsemiotika, makna benda dalam hal ini hubungan antara penanda dan petanda tidak selalu linear. Oleh karena itu antara peci, ustadz, dan pesantren harus dipisahkan terlebih dahulu dari penggunanya. Meminjam istilah Jacques Derrida, ketiga konsep makna luhung tersebut harus didekonstruksi dari penggunanya. Sehingga kita bisa memilah bahwa perilaku biadab yang dilakukan oleh manusia yang menuruti hawa nafsu (Id-tanatos), sama sekali tidak terkait dengan lembaga pesantren yang dipimpinnya, atau ustadz yang disematkan masyarakat kepada dirinya, atapun peci yang selalu menempel pada kepalanya.

Karena selama ini, antara penanda dan petanda yang hadir dalam konsep peci, ustadz, dan pesantren selalu linear dan terjadi konvensi kemelekatan dalam diri seseorang yang mengenakannya. Faktanya, perusak benteng akhlak tersebut sedang melakukan simulasi diri sebagai orang soleh. Simulasi manusia bermoral tersebut tidak selalu merujuk pada realitas yang sebenarnya karena simulasi bisa jadi bertolak belakang dengan tujuan dan niatnya. Dirinya justeru sedang membuat kekacauan tanda. Agar tidak terbaca bahwa yang mengendalikan nafsunya adalah Id-tanatosnya bukan superego-nya, bukan ayat-ayat kitab suci.

Penanda budaya keagamaan tersebut, dalam relasinya dengan santri, meminjam pandangan Foucault, menjadi alat penganut libidonomic dalam mempraktikkan kekuasannya. Melalui tanda-tanda budaya agama tersebut, penganut libidonomic sedang mencengkeram dengan kuat bagaimana pengaruhnya betul-betul efektif.

Oleh karena itu, kesalahan fatal yang dilakukan oleh pelaku pencabulan, atau pemerkosaan, sama sekali tidak dilakukan oleh seorang ustadz atau pimpinan pondok pesantren, tapi oleh manusia simulatif yang mengacaukan tanda-tanda konvensional peci, ustadz, dan pesantren. Mereka adalah orang-orang yang ahli dalam mengkreasikan tanda-tanda agama dengan dirinya yang menjadi penganut libidonomic.***[]

sumber gambar: boombastis

Awal Oktober 2021, Indonesia sempat dihebohkan dengan isu penamaan salah satu jalan di Jakarta dengan nama jalan Mustafa Kemal Ataturk . Apa pasal, karena tidak sedikit dari tokoh-tokoh Muslim Indonesia tidak setuju karena penamaan tersebut dianggap mencederai hati kalangan umat Islam. Rencana penamaan jalan Mustafa Kemal Ataturk merupakan balas budi Indonesia kepada Turki yang telah menjadikan Soekarno sebagai salah satu nama jalan di negara perbatasan Asia Eropa tersebut.

Jika analoginya, kesetaraan antara Soekarno dan Mustafa Kemal Ataturk, sebagai bapak bangsa diakui tetapi sebagai tokoh Islam menjadi perdebatan. Keduanya sama-sama sebagai pejuang yang merebut negaranya dari bangsa penjajah, merupakan founder dari masing-masing negara. Kemal Ataturk berhasil mengusir penjajah dan mendirikan Turki Modern dan Soekarno berhasil memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia, berjuang dan mempertaruhkan nyawanya untuk segenap bangsa Indonesia.

Tidak diragukan bahwa posisi Ataturk sebagai bapak bangsa, dia adalah pelopor Turki Modern, semua orang tidak meragukan, setiap tanggal tertentu juga semua bangsa Turki memperingati peninggalan bapak Turki tersebut. Foto-foto Mustafa Kemal Ataturk terpasang di mana-mana sebagaimana halnya Bapak Presiden Soekarno yang menjadi kebanggan bangsa Indonesia. Foto-fotonya terpampang di setiap sudut rumah-rumah warga Indonesia.

Sampai di sini semua orang bisa memahami dan mengakui, begitu juga ummat Islam, toh juga untuk apa dipermasalahkan, tidak ada untung atau ruginya.

Tapi saat namanya ramai diperbicangkan karena akan diterapkan menjadi nama jalan di Indonesia, menjadi tidak setara dengan Bapak Proklamator Indonesia. Walaupun pada satu buku, Soekarno pernah mengkritik Islam (budaya/ muslin) dengan Islam Sontoloyo, tapi itu merupakan bentuk kecintaannya terhadap Islam. Bentuk kecintaan Soekarno terhadap Islam ditunjukkan dengan mendirikan Masjid terbesar dan termegah di Asia Tenggara pada saat itu, yaitu Masjid Istiqlal. Bahkan Soekarno yang meletakkan batu pertama pembangunan Masjid tersebut.

Pada masa Soekarno juga, tidak terjadi pelarangan penggunaan Jilbab atau pelarangan mendirikan mushola atau masjid seperti halnya terjadi pada masa orde baru, saat salah satu menterinya melarang untuk anak sekolah mengenakan Jilbab, bahkan saya masih ingat, saat sekolah dulu, perempuan berjilbab jika menggunakan kerudung harus dibuka dulu sebelum ambil foto untuk ijazah.

Pengkhianatan

Pada masa Mustafa Kemal Ataturk terjadi pelarangan penggunaan Jilbab, bahkan Masjid Hagia Shopia diubah fungsinya dari Masjid pada masa Turki Ottoman menjadi Museum. Bagi umat Islam dengan solidaritas Pan-Islamismenya, Islam itu satu di seluruh dunia, walaupun dipisahkan oleh administrasi negara, apa yang dilakukan Mustafa Kemal Ataturk merupakan bentuk sekularisme dan pengkhiananan terhadap Islam. 

Menjadikan Turki Islam menjadi Turki Western yang dipahami saat itu sebagai bentuk modernisasi. Modernisasi yang equal dengan westernisasi. Karena pada awal-awal terjadinya modernisasi, segala sesuatu harus selalu sama dengan modernisasi yang terjadi di Barat. Sehingga modernisasi itu sama dengan Westernisasi. Masyarakat Islam memahaminya, itulah yang terjadi di Turki saat itu. Padahal sebelumnya, Turki dibanggakan oleh Ummat Islam seluruh dunia karena menjadi representasi kekhalifahan yang masih ada di era modern.

Terlepas dari kontribusinya Mustafa Kemal Ataturk terhadap ilmu pengetahuan atau terhadap perkembangan bangsa Muslim di Turki. Namun, bentuk westernisasi yang dilakukan oleh Mustafa Kemal Ataturk dianggap sebagai bentuk pengkhiatannya terhadap Islam. Berkhianat terhadap Islam di Turki berarti berkhiatan terhadap Islam di seluruh Dunia.

Muslim Indonesia yang menjadi bagian dari muslim dunia selalu peka terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh Muslim di Dunia; terhadap Muslim Palestina misalnya. Sampai saat ini, Indonesia tidak membuka hubungan diplomatic dengan Israel karena persoalan tersebut. Alih alih membuka hubungan dengan Israel, Indonesia justeru banyak membantu warga Palestina; mendirikan rumah sakit, masjid, bahkan bantuan setiap periodenya selalu diarahkan ke Palestina. Belum lagi warga Indonesia yang menjadi aktivis di Palestina demi membantu warga Palestina.

Oleh karena itu, saat ada rencana memberikan nama jalan di Jakarta dengan nama jalan Mustafa Kemal Ataturk, tokoh-tokoh Islam di Indonesia khususnya di Jakarta menolak rencana tersebut karena akan menyakiti perasaan umat Islam yang menjadi mayoritas.

Mustafa Kemal Ataturk dan Soekarno sama-sama sebagai founder pada bangsanya masing-masing, pengakuannya juga hampir sama, tapi tidak dalam persoalan pengakuan berperasaan terhadap ke-Islaman.***[]

 

 

 

Beberapa Tulisan Koran 
 

Menjelang akhir tahun, salah satu refleksi yang saya lakukan adalah telah masuk tahun kedua, tidak ada tulisan reflektif yang dipublikasikan media massa. Padahal, eksistensi tersebut sangat terasa, walaupun bisa jadi semu belaka.

Sepanjang Pandemi 2020, 4 tulisan yang dikirimkan ke media tidak bersambut dengan baik. Memang, 2020 menjadi tahun-tahun terberat, selain karena pekerjaan yang jauh dari ekspektasi, tidak memiliki kampus yang bisa diklaim sebagai sumber pendapatan utama, juga karena kondisi keuangan yang cukup parah. 

Walaupun menjadi tahun terberat, satu dua atau tiga tulisan tetap bisa dihasilkan dari tangan gempalku, yang orang bilang jempol semua hehehe. Biar jempol semua, sudah bisa menghasilkan jutaan dari menulis di media massa. Sombongnya mungkin begitu.

Selain menjadi tahun terberat, tahun 2020 juga menjadi tahun refleksi karena ternyata banyak media cetak yang mengurangi rubrik dan oplah. Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, bahkan saat langganan Kompas juga ternyata berkurang setengahnya lebih. Rubrik-rubrik yang secara bergantian menjadi sasaran tulisanku raib.

Walaupun, fasilitasi kolaborasi telah demikian terbuka, tapi ternyata saya belum move on dari media massa cetak. Entah, saat tulisan itu bisa terbit, seakan-akan eksistensi diri langsung melambung, terlepas isi dompet selalu cekak. Tapi saat itulah, masa depan cerah kembali, setidaknya untuk satu atau dua minggu, karena otomatis dompet terisi lagi.

Kini, perkaranya bukan soal dompet, namun soal intelektualitas yang sepertinya mulai memudar. Kerja administrasi yang dijalani selama kurang lebih pada massa mengambang sebagai pekerja cendekia masih belum menyambut baik.

Memasuki awal tahun 2021, Alhamdulillah telah memiliki perlabuhan kampus yang mentereng, dengan segudang prestasi di dalamnya. Tapi akulturasi diri dengan atmosfer kampus baru tersebut belum terintegrasi, suara-suara idealis dari rekan hanya bersarang pada grup-grup WA, belum masuk pada sanubari. Padahal, sejatinya suara-suara itu yang bisa mendorong dan meluapkan tema kritis dalam setiap langkah berpikir. Tapi rupanya, masih berada dalam gapura penyambutan.

Tahun 2021 akhirnya menjadi tahun penuh apologi bahwa sedang beradaptasi dengan kampus teknokrat yang bisa mengerek dan mengangkat. Tapi apalah artinya aku, jika tak berkarya dan bergerak. Lagi-lagi studi doktoral juga menjadi alasan, untuk menutupi segala kekurangan dan kelemotanku dalam berpikir.

Tidak ada resolusi pada tahun 2022, selain bahwa saya harus menyelesaikan doktoralku. Dan jalan menulis harus lagi kutempuh dan mengawali awal baru. Mungkin sudah lupa caranya, karena selama tahun 2021, entah ada atau tidak bukti ketikan jari jempol semua pada menu ‘send’ pada emailku. Entah. Jika demikian, artinya, otakku tidak lagi dipakai untuk merefleksi kehidupan selama setahun lamanya. Astagfirullah.

Tulisan ini, tentu bukan keluh kesah, bukan resolusi, bukan juga umpatan-umpatan tak berguna terhadap diri yang selalu memiliki alasan untuk tidak berkarya, menjadi pemalas berpikir. Padahal, isu-isu selalu seksi untuk dibahas ditelanjangi dengan teori-teori yang seadanya. Tidak mewah, tapi tidak juga terlalu miskin. Cukuplah bagi seorang pembelajar.

Tulisan inipun tak ubahnya, bagian dari pembelajaran, kemanakah saya selama ini. Kini yang telah berubah menjadi Aku. Selalu memiliki banyak alasan untuk meng-Aku-kan. Sebagaimana halnya, generasi-generasi yang merasa pinter sendiri.

Tidak pula, refleksi pikiran itu saya tuangkan dalam bentuk blog yang kini bermetamorfosa menjadi dua, satu ceritanya untuk tulisant-tulisan teknis, satu lagi ceritanya untuk tulisan-tulisan sedikit nakal, nakal berpikir. Dan tulisan ini entah masuk kemana. Tidak satupun tulisan yang dihasilkan melalui blog. Jikapun ada, dalam bentuk catatan peristiwa karena ada agenda sosial. Itupun tidak atas namaku. Akupun tidak peduli. Karena bukan genre tulisan seperti itu yang dimaksud: opini, feature, ataupun essay bebas yang entah masuk genre essay atau tidak.

Baiklah, ini hanya tulisan pengingat bahwa ternyata, sumber kekuatan eksistensi diri, kepercayaan diri, cukup besar prosentasinya dari tulisan yang tersebar di media massa, yang bisa jadi nanti akan menjadi kenangan, karena tidak lagi ku lakukan. Bukupun, masih berkutat pada ‘sedang dan sedang’ walaupun bab-bab tersebut telah ada. Tapi tidak kunjung selesai.

Jadi, mari kita mulai lagi, dari nol lagi, belajar lagi, menulis refleksi. Apapun teorinya. Apapun temanya. Apapun tulisannya. Tapi walaupun apapun, tetap harus tampak bertenaga sekaligus renyah dibaca. Yuk! Mari menjadi seorang pembelajar. Yang tidak pernah angkuh untuk selalu melakukan refleksi terhadap dunia kehidupan ini yang mungkin sebenar lagi akan aku tinggalkan.***[]

Buku-buku Dr. Jalaludin Rakhmat/ Kang Jalal. 

Innalillahi Wainnailaihi Rojiun, Cendekiawan Muslim yang mendalami Tasauf sekaligus filsafat, juga menjadi peletak dasar Psikologi Komunikasi di Indonesia, Jalaludin Rakhmat meninggal dunia. Kabar ini mengagetkan, karena tiba-tiba seorang teman memposting kabar meninggalnya seorang sufi kota tersebut melalui media sosial yang sudah sejak lama jarang dibuka. Ternyata, di grup-grup WhatsApp juga beredar kabar meninggalnya berikut dengan link beritanya. Barulah saya yakin, jika pendiri sekolah Muthahari tersebut telah tiada.

Para pegiat kajian Islam termasuk mayoritas mahasiswa komunikasi tidak asing lagi dengan nama kang Jalal, walaupun belakangan santer dituduh sebagai tokoh Syiah di Indonesia, namun beliau sendiri, pada suatu kajian di Muthahari pernah berkelakar, oleh kalangan Sunni dianggap Syiah dan oleh Syiah tulen tidak diakui. Ingat kata-kata Ali Syariati, salah satu tokoh intelektual dalam revolusi Islam Iran, ia tidak diakui sebagai Syiah, tapi oleh kalangan Sunni sendiri ia memang dianggap Syiah.

Terlepas beliau adalah tokoh Syiah dan apakah ia juga masih Sunni, yang jelas, ilmunya telah diserap dan diamalkan oleh jutaan orang di Indonesia. Bukan hanya oleh jamaahnya dari IJABI, namun juga para sufi kota yang pada masa keemasannya, menjadikannya sebagai guru spiritual, juga lulusan-lulusan komunikasi yang melewati satu semester berkenalan dengannya melalui buku Psikologi Komunikasi yang melegenda.

Bagi aktivis kajian Islam, buku-bukunya sudah sejak lama menjadi rujukan untuk bahan diskusi dan kajian keislaman, Islam Aktual dan Islam Alternatif menjadi rujukan, belakangan juga menulis Islam dan Pluralisme. Kang Jalal adalah tokoh lintas madzhab yang mampu membuka jalan pikiran para peminat kajian Islam sehingga dengan percikan-percikan pemikirannya mampu menggoda untuk terus berpikir dan bergerak.

Saya sendiri pertama kali berkenalan dengan Kang Jalal melalui buku kecil namun cukup menggairahkan untuk dibaca dan diamalkan, saat mahasiswa, yaitu Rekayasa Sosial. Buku kumpulan tulisan sejak tahun 1980 ini mampu menyuntikkan semangat kemahasiswaan saya beberapa belas tahun yang lalu. Tentu, bukan hanya buku ini yang sampai saat ini masih tersimpan dan sudah beladus karena sering dibuka-buka untuk dibaca, juga buku yang cukup menyejukkan, karena kang Jalal telah bermetamorfosa dari seorang pemikir (filsuf) pada masanya menjadi seorang sufi, misalnya melalui buku Meraih Cinta Ilahi.

Karena peminatan yang cukup menarik dari pemikiran-pemikiran kang Jalal, saat mahasiswa pernah juga beberapa kali ikut kajian Ramadhan di Muthahari. Dan memang pikiran-pikirannya yang nakal mampu meningkatkan gairah membaca dan mengkaji. Walaupun tidak pernah ikut pengajiannya di Mesjid Al-Munawarah. Ketertarikan terhadap kajian filsafat dan pemikiran Islam, mengantarkan saya bertemu beberapa kali dengan beliau di kampus. Setiap kali Ia menyampaikan pemikirannya, selalu ada yang baru. Dan mungkin inilah yang membuat jamaah kajiannya selalu tertarik dengan dengan kehadirannya. Selain gaya penyampainnya dengan metode bercerita.

Beruntung, pada saat studi lanjut di Pascasarjana Ilmu Komunikasi Unpad, pernah beberapa kali bertatap muka dalam satu mata kuliah. Walaupun hanya 3 kali bertemu, karena Kang Jalal saat itu menjadi bagian dari tim teaching, tapi hampir semua mahasiswa terkesan dengan keluasan wawasannya dalam menyampaikan materi. Saat seminar, narasumber diskusi, ataupun mengisi perkuliah sama menariknya.

Sebelum beliau terjun ke dunia politik, saya masih mengikuti cerita-cerita baru melalui buku-buku yang selalu memberikan kejutan. Walaupun buku-bukunya, bisa dibilang lintas kajian. Sosial, Filsafat, komunikasi, pemikiran Islam. Psikologi Komunikasi, Metode Penelitian, Meraih Cinta Ilahi, Islam Aktual, Islam Alternatif, Meraih Kebahagiaan, ESQ for Kids, Kata pengantar Kang Jalal juga sering mewarnai buku-buku pemikiran atau psikologi, seperti dalam buku-buku terjemahan Ali Syariati dan atau juga misalnya dalam buku ESQ-nya Danah Zohar dan Ian Marshal yang menganggap bahwa Spiritualitas itu bersifat materialistik. Kang Jalal memberikan pengantarnya tentang aliran-aliran psiklogi yang ditutup dengan aliran transpersonal.

Setelah beliau terjun ke politik, memang menutupi perhatian saya terhadap karya-karya barunya. Atau memang saya sudah tidak tertarik dengan kajian-kajiannya kang Jalal? Entahlah. Misalnya dalam kumpulan kata pengantar yang menurut saya sangat menarik, yaitu Afkar Penghantar. Saat itu saya ingin sekali memiliki buku itu, dari judulnya sudah begitu seksi, apalagi kata-kata penghantar tersebut berasal dari beragam penghantar buku-buku yang beragam. Dan tidak berhenti sampai di situ, masih ada banyak karya kang Jalal yang tidak saya ketahui. Terlepas dari itu, sosok kang Jalal memiliki pengaruh kuat terhadap cara penikmat kajian berpikir, melalui buku-bukunya, termasuk saya.

Pengalaman Berharga saat Diberhentikan Kultum

Pada suatu Jumat entah di tahun berapa, saya diminta untuk mengisi Kultum. Terus terang, saya bukan tipe agamis yang mau berbagi pengalaman atau wawasan keagamaan. Karena tidak pede dengan cara berpikir saya yang memang tidak religius, bahkan mungkin cenderung liberal atau cenderung abu-abu. Namun, apa boleh kata, karena diminta dan telah terjadwal akhirnya saya mengisi kultum juga. Pada kesempatan yang lain, saat melakukan review buku, memang cukup berhasil. Tapi kali ini justeru diminta berhenti.

Kenapa kok diberhentikan?

Ceritanya, karena saya adalah lulusan komunikasi, maka saat kultum saya pun ingin mengupas ayat-ayat komunikasi. Saya pun menyampaikan beberapa ayat komunikasi yang tafsirnya saya dapatkan dari tulisan kang Jalal melalui buku lain, karena saat itu cukup kesulitan mencari buku Islam Aktual dan Islam alternatif yang di dalamnya ada tafsir ayat-ayat komunikasi.

Saat saya menyebutkan tentang kutipan ayat tersebut dari Jalaludin Rakhmat seorang tokoh ilmu komunikasi, tiba-tiba saya diminta berhenti.

“Cukup. Cukup, cukup..., udah cukup”, kata tersebut walaupun sudah terjadi beberapa tahun yang lalu, masih saja terngiang. Karena bagi saya, saya baru bertemu secara langsung berhadapan, yang menurut saya waktu itu berpikiran sempit.  Sampai akhirnya, saya baru sadar saat dia berkata lagi,” Jalaludin Rakhmat itu adalah salah satu orang yang haram hukumnya disebutkan di Mesjid,” ujarnya menggebu-gebu.

Saya, yang setidaknya, beberapa buku-buku kajian Islam pernah saya baca sangat kaget dan malu, di hadapan Jamaah, dianggap saya telah menyebut orang yang haram. Hanya saja, waktu itu saya tidak habis pikir, kenapa bisa, cendekiawan sekelas Kang Jalal, dianggap haram. Walaupun kemudian saya tahu, ini tidak lebih dari konflik aliran antara Sunni-Syiah yang telah mendarah daging. Dan kang Jalal dengan Ijabi-nya, dianggap sebagai tokoh Syiah.

Padahal, saat itu, sedikitpun tidak terbersit bahwa Kang Jalal itu Syiah. Yang saya pahami, bahwa beliau adalah seorang ilmuwan komunikasi dan cendekiawan muslim. Saya mengutip karena dia adalah seorang ilmuwan, bukan seorang ideolog Syiah.

Bisa jadi saya yang tidak tahu tempat, sok pinter, dan sok mengutip tokoh. Tapi itulah ciri-ciri yang fakir ilmu, mengutip agar tidak salah, daripada menafsir sendiri. Ya, intinya saya fakir ilmu, dan orang yang memberhentikan kultum saya, terlalu luas ilmunya, sehingga sudah tahu bahwa seseorang itu haram disebutkan di mesjid. Okelah saya mengalah dan akhirnya berhenti, tidak baik juga berdebat tentang sesuatu yang tidak saya ketahui duduk persoalannya.

Barulah setelah selesai pengajian, tiba-tiba seorang teman bertanya, Pak Dudi Syiah? Gubrag! Apalagi ini? Beribadah dengan tradisi dan selalu ikut tahlilan juga shalawatan ketika ada tetangga yang meninggal atau tasyakuran, berteman dengan banyak teman dari Persis, saya dituduh syiah hanya gegara mengutip ayat-ayat komunikasi yang ditafsirkan Kang Jalal. Ikut Kajian juga hanya sekali-kalinya saat ramadhan, saat saya sedang bersemangatnya dunia kajian, ikut kelas formal di kelas hanya 3 kali saat pascasarjana. 

Baru dari sini saya sadar, bahwa pluralitas lingkungan saya sebelumnya tidak bisa dibawa sebagaimana hal yang normal saat masuk lingkungan baru. Cara saya berpikir tentang sesuatu belum tentu dianggap baik, walaupun di tempat saya bergaul sesuatu yang biasa-biasa. Maka, sampai di sini, Kang Jalal bukan hanya telah mengajarkan tentang Dahulukan Akhlak di Atas Fiqh sebagaimana halnya buku yang ia tulis, tapi juga mengajarkan bagaimana agar kita berhati-hati mengutip, meskipun kutipan tersebut lumrah dan wajar karena bersifat akademik.

Bagaimana jadinya saat saya menulis jurnal penelitian saya mengutip buku Metode Penelitian Komunikasi yang kini telah diperbaharui bersama penulis Akademisi dan peneliti Idi Subandi Ibrahim, juga buku Psikologi Komunikasi yang telah ditambahkan 2 bab terakhir tentang psikologi media internet, atau mengutip buku yang diterjemahkannya yaitu Komunikasi Antar Budaya, atu saat saya menulis thesis juga mengutip dari buku Psikologi Agama dan Retorika Modern yang dikarang Kang Jalal. Lalu dengan 4 kutipan beruntun dari buku-buku akademis tersebut, lalu saya dianggap Syiah?

Dus, kini Ustadz Jalal, Kang Jalal,  Jalaludin Rakhmat telah tiada. Kita berdoa semoga beliau mendapatkan syafaat dari Rosulullah Muhammad Solallahu Alaihi Wasallam. Dan semoga ilmu yang telah beliau tulis melalui puluhan buku-bukunya mengalir menjadi amal sholeh. Allohummagfirlahu warhamhu waafihi wafuanhu. ***[]

sumber gambar: TurnitIn

Awal tahun 2020, seorang kolega, calon guru besar mendapatkan surat pencabutan terhadap karyanya yang diterbitkan jurnal berreputasi nasional, Sinta 2. Hal ini, karena terdeteksi sang calon profesor tersebut melakukan publikasi ganda. Dalam dunia akademik, publikasi ganda ini disebut dengan autoplagiarism atau self plagiarism. Suatu bentuk plagiat yang dilakukan oleh diri sendiri.

Saya tidak ingin menperdebatkan tentang definisi plagiasi atau istilah plagiasi yang dilakukan oleh diri sendiri. Namun yang jelas, publikasi ganda tersebut akan mencoreng nama baik penulis di mata publisher. Wacana yang dimunculkan para publisher, khusus pengelola jurnal salah satu asosiasi, bahwa jika seorang penulis kedapatan melakukan hal tersebut, maka akan diblacklist. Mengerikan sekaligus membuat mandesu.

Belakangan, seorang Rektor terpilih yang belum dilantik salah satu perguruan tinggi di Indonesia, mengalami nasib serupa, ia dianggap melakukan autoplagiarism. Jelasnya, autoplagiarism yang dituduhkan oleh kampus pada Rektor terpilih tersebut merupakan double publikasi. Satu tulisan akan tetapi dipublikasikan pada dua media yang berbeda.

Peristiwa ini menjadi pukulan telak bagi dunia akademik, apalagi yang terkena masalah adalah seorang Rektor terpilih pada perguruan tinggi ternama. Terlepas soal prestise akademik baik jabatan struktural atau jabatan fungsional yang telah diraih oleh aktor tersebut. Saya memiliki catatan secara umum, tidak hanya merujuk pada dua kasus tersebut di atas yang mencoreng personal dan sekaligus akademik.

Pertama, pada tulisan tentang Dosen sebagai Cendekiawan, seharusnya seorang yang berprofesi dosen selalu resah dengan keadaan sekitarnya. Keresahan tersebut karena faktor internalisasi kepekaan yang mendalam pada peristiwa-peristiwa etis dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat dan bangsanya. Hal yang pertama yang menjadi masalah adalah karena ketidakpekaan seorang dosen tersebut terhadap isu-isu sehari-hari. Sesuai dengan latar belakang keilmuannya.

Saya melihat jika seorang dosen peka terhadap isu-isu kemasyarakat ataupun kebangsaan, akan begitu banyak ide yang dapat menjadi bahan riset sehingga untuk mengirimkan hasil riset/ tulisan ke publisher. Bukankah dosen per setiap 6 bulan sekali harus memiliki draft penelitian yang siap dipublikasikan atau telah dipublikasikan?

Kedua, dosen tidak fokus pada tugas profesionalismenya. Ini juga jelas bahwa dosen memiliki kewajiban penelitian, plus publikasi. Atau hasil penelitian yang dipublikasikan. Jika saja setiap dosen per semesternya memiliki draft yang siap dikirim ke publisher, bukankah tidak perlu mengirimkan satu artikel ke beberapa publisher?

Ketiga, dengan latar belakang tersebut, artinya dosen tidak paham tentang dunia penerbitan jurnal juga terkait dengan aturan-aturan yang ada di dalamnya. Pada saat saya menulis artikel opini untuk dikirimkan ke media massa. Saya tidak berani mengirimkan satu artikel yang sama ke dua media yang berbeda. Karena jika kedua-duanya terbit dengan tulisan yang sama, ini menjadi malapetaka bagi penulis tersebut. Karena jika diketahui, penulis tersebut akan diblacklist sebagai penulis rubrik opini media massa tersebut. Oleh karena itu, saya tidak pernah mengirimkan satu tulisan yang sama ke media yang berbeda.

Keempat, dari semua yang dijelaskan, jelas bahwa ini soal kemiskinan karya yang dihasilkan oleh seorang dosen. Betapapun kesibukkan yang dialami oleh dosen, tapi idealnya atau seharusnya seorang dosen tidak boleh melupakan tugas utamanya tridarma perguruan tinggi; pengajaran, pengabdian, penelisian plus publikasi.

Pada masa lalu, hal yang lumrah jika dosen tiba-tiba tidak masuk kelas tanpa alasan yang jelas, membatalkan perkuliahan dengan cara mendadak. Hari ini dosen dituntut profesional karena pada dasarnya pengajaran merupakan kewajiban  yang menjadi hak mahasiswa. Hal tersebut kini tidak diharapkan, karena yang menjadi ladang amal dosen adalah mahasiswa. Saat kita menghindar dari kewajiban, kita tidak memenuhi hak-hak mahasiswa. Setelah bidang pengajaran selesai, dihadapkan pada persoalan baru, yaitu kepekaan terhadap isu kemasyarakatan dan kebangsaan yang harus mewujud menjadi karya nyata – pengabdian atau penelitian.

Oleh karena itu, menjadi penting peka terhadap isu-isu kekinian di sekitar masyarakat kita, bangsa kita, atau sesuai dengan keilmuan kita yang spesifik agar ide-ide terus bermunculan, sehingga kita tidak kekurangan ide untuk menuliskan karya kita; menjadi pengabdian, penelitian, ataupun publikasi.  Karena hal-hal teknis terkait dengan publishernya dapat dicari dan banyak sekali trik dan teknik agar bisa melakukan publikasi.

Namun ide, gagasan, atau kepekaan cenderung sulit datang tiba-tiba keculi diasah terlebih dahulu. Oleh karena itu, jika pembaca ada yang berniat atau tertarik menjalani profesi sebagai dosen, akan lebih mudah jalannya, jika kepekaan terhadap isu-isu sosial dan kebangsaan yang mengarah pada jati diri cendekiawan terbangun terlebih dahulu. Sehingga karya itu akan dengan sendirinya lahir dari keresahan kita sebagai cendekiawan sekaligus yang berprofesi sebagai dosen.

Catatan ini lebih untuk mengingatkan diri sendiri. Tidak untuk menggurui apalagi terhadap dosen saya sendiri, tentu tidak etis rasanya. Mungkin pengingat terhadap generasi yang sekarang atau akan datang. Jangan sampai karena kita tidak pernah peka, lalu miskin karya, dan akhirnya kita ulangi lagi-ulangi lagi, daur ulang lagi tulisan/ publikasi lama seakan-akan baru. Jangan sampai kita menyesal kemudian. Semoga bermanfaat. ***[]

 

sumber gambar: iqrodotocom

Seorang teman, bercerita jika teman kami pada masa kecil, kini lebih religius dan bertambah dewasa dari segi sikap dan perilaku. Dari segi agama, tampak bahwa semakin mencari kedalaman-kedalaman spritual dengan mencari guru-guru hikmah yang bisa memberikan insight keberagamaan bagi dirinya.

Betul saja, apa yang diceritakan oleh teman saya, teman kami tersebut memang tampak mendalami agama dengan beberapa kali membagikan tautan tentang kegiatan agama bercorak tasawuf. Yaitu suatu jalan mendekati Tuhan dengan menyerahkan dirinya untuk beribadah kepada Tuhan. Dengan kata lain, orang yang menjalankan tasawuf tidak lagi tertarik dengan hal-hal duniawi.

Bagaimana dengan teman saya? Tentu saja tidak atau belum terjun ke tasawuf, tapi ketertarikannya terhadap agama begitu tinggi, hingga mencari-cari majelis ta’lim yang sesuai dengan karakteristiknya, yaitu mencari guru tapi yang tidak menggurui.

Suatu hari bertemu, sambil mengenang masa kecil, kami bercerita ngaler ngidul layaknya teman lama. Dan tibalah pada cerita yang lebih dalam dan dewasa. Karena faktanya kami bukan lagi remaja. Kami pun memikirkan masa depan, termasuk juga akhirat sebagai tempat persinggahan terakhir kelak.

Salah satu yang diceritakan oleh teman kami tersebut, bahwa pada dasarnya agama telah menjadi sumber malapekata. Salah satunya, konflik-konflik yang terjadi disebabkan oleh agama. Di Suriah atau Timur Tengah lainnya. Bahkan kalo kita kembali ke abad pertengahan, agama juga menjadi sumber kegelapan ilmu pengetahuan sebelum akhirnya muncul renaissans. Bahkan, atas nama agama, terjadi perampokan besar-besaran dengan memindahkan sumber ilmu di Baghdad ke Eropa.

Sama halnya dengan Indonesia, agama seringkali menjadi sumber konflik; antara Islam dan Kristen, antara aliran dalam Islam; Sunny-Syiah, atau Sunny-Ahmadiyah. 

Hingga akhirnya dia menyimpulkan, karena agama menjadi sumber malapetaka, maka beginilah cara beragama yang dianutnya, memiliki jalan Sufi atau lebih tepatnya, bahasa  jalan sepi, hanya untuk diri sendiri. Beragama dengan versinya sendiri, yaitu mencari ketenangan, kedamaian, dan ketentraman jiwa.

Dia berargumen, karena itulah yang dilakukan oleh orang-orang yang beragama. Bukankah beragama itu harus mendatangkan ketentraman? Bukankah saat orang beragama itu harus mendatangkan kedamaian terhadap diri sendiri?

Pada kesimpulan ini, saya tidak setuju. Karena beragama bukan hanya untuk diri pribadi. Namun juga ada hak orang lain atas keberagamaan kita.

Seperti apa contohnya? Ya, kita seringkali mendengar istilah habluminallah habluminannas dan habluminalalam. Saya tidak akan bicara tentang ayat al-Qur’an, tapi lebih pada fakta keberagamaan kita sehari-hari.

Apakah saat kita beragama kita mencari ketenangan? Tidak! Apakah saat kita beragama untuk mencari kedamaian? Saya kira bukan juga. Ataukah cara kita beragama untuk menghindari konflik? Bukan! Mencari ketenteraman? Oh tentu saja No! lalu apa?

Itu semua adalah dampak dari kita beragama. Karena kita dekat dengan Tuhan, kita percaya sekaligus yakin bahwa Tuhanlah yang menjaga, membimbing, memelihara, serta mengarahkan. Saat kita fokus pada tujuan kita hidup dengan tuntutan agama, maka ketenangan, ketentraman, kedamaian akan kita dapat. Tapi bukan tujuan itu sendiri.

Saat kita beragama dengan tujuan untuk ketentraman, kedamaian, ketenangan hati sementara aspek lain tidak tersentuh, maka bagi saya itu hanya cara beragama kita yang terlalu egois.

Sama halnya keegoisan teman-teman kita yang memiliki kelebihan harta lalu dengan bebas bisa umroh belasan kali, bisa naik haji berkali-kali. Bukankah dalam harta yang dibelanjakan untuk ongkos tersebut punya hak orang lain agar bisa menunaikan ibadah tersebut?

Saya teringat dengan satu masa The Dark of Sufism, saat para saleh, hanya mementingkan ibadah kepada Tuhan. Sementara keadaan masyarakatnya tidak diperhatikan. Beragama macam apa ini, bukankah bentuk beragama  yang egois, beragama hanya untuk kepentingan diri kita sendiri.

Pertanyaan diplomatisnya, bukankah saat kita syahadat kita tidak hanya bersyahadat kepada Tuhan, tapi juga nabi sebagai bentuk horizontal dalam beragama. Bukankah saat kita sholat selain cara kita bertemu dengan Tuhan, diakhiri dengan salam, karena keselamatan itu harus juga selamat bagi manusia lainnya? Bukankah Zakat selain untuk menyucikan jiwa, juga untuk membantu saudara kita yang kekurangan? Bukankah saat puasa ada pesan agar kita merasakan bagaimana penderitaan orang-orang yang kekurangan makan? Bukankah saat kita berhaji juga ada pesan bagaimana bergaul dengan manusia lain yang berbeda budaya, pemikiran, cara berpakaian, dengan beragam pangkat dan jabatan, bahwa hal itu tidak berarti apa-apa di hadapan Tuhan?

Oleh karena itu, beragama, bukan hanya untuk diri sendiri, namun juga punya nilai ekstrinsik, sehingga harus selalu melihat ke luar. Beragama memang persoalan individu, namun jika kita tengok di Indonesia, beragama diatur oleh negara, artinya bahwa ada keterlibatan yang tidak terpisah dengan orang lain sehingga perlu melibatkan aturan negara.

Tulisan ini, hanya catatan kecil dalam kehidupan kita sehari-hari, karena pemahaman agama kita yang kecil sehingga seringkali kita mengklaim cara beragama kita yang benar. Sehingga bisa menjadi pembelajaran bahwa agama itu tidak sempit. Kita perlu belajar lagi agar kehadiran kita dalam beragama dirasakan manfaatnya bagi orang lain, bukan menjadi sumber konflik atau malapetaka, sehingga agama terrealisasi menjadi rahmatalilalamin. Amin. ***[]

Saat memilih profesi menjadi dosen, sekaligus harus siap menjadi seorang intelektual. 

Sama hal seperti profesi lain, misalnya seorang bidan atau dokter, yang harus mendedikasikan diri pada bidang kesehatan, menjadi tulang punggung masyarakat saat membutuhkan bantuan. Dokter atau bidan harus siap 24 jam jika betul-betul dalam keadaan darurat.

Bagaimana pengorbanan dokter saat pandemi, mereka rela meregang nyawa demi menyelamatkan anak bangsa dari rongrongan corona virus. Berapa puluh atau ratus dokter yang meninggal akibat terkena dampak virus corona di Indonesia. Perjuangan mereka betul-betul sangat maksimal dan tidak bisa diganti dengan tunjangan apapun.

Bidan, mereka harus siap siaga saat masyarakat membutuhkan bantuan kelahiran. Tanpa pandang bulu siapa yang akan melahirkan, miskin atau kaya. Mereka terikat oleh sumpah profesi mereka sebagai dokter atau bidang, suatu profesi yang mulia. Menjadi penyambung hidup masyarakat luas. 

Begitu juga dengan wartawan/ jurnalis. Mereka terikat sumpah kode etik jurnalistik untuk memperjuangkan kebenaran, walaupun nyawa taruhannya. Berapa puluh wartawan yang gugur karena persekusi karena memperjuangkan kebenaran. 

Serupa, walaupun tidak sama, profesi dosen. Profesi utama memberikan pencerahan kepada masyarakat baik berupa transfer ilmu pengetahuan, pembentukan karakter masyarakat, riset, ataupun pengadian termasuk memberikan pencerahan hasil dari itu semua berupa publikasi.

Sebagai seorang yang memiliki kapasitas intelektual karena pendidikan serta keluasan wawasannya, aktivitas dosen tidak hanya menjadi produsen ilmu, tidak hanya menerapkan ilmunya kepada masyarakat dengan melakukan pengabdian. Ia juga harus mampu membuka mata masyarakat agar bisa bersikap kritis terhadap hidupnya. Ia harus mampu membawa masyarakat ke jalan yang terang untuk mencapai cita-citanya.

Sebagai seorang cendekiawan atau intelektual, dosen harus selalu memiliki sikap selalu resah denga keadaan bangsanya. Dosen harus mampu menyikapi secara kritis dengan persoalan-persoalan kemasyarakatan di sekitarnya. 

Oleh karena itu, tugas dosen tidak cukup tridarma, tapi juga persoalan substansial yang dihadapi oleh bangsa ini. Keluar dari persoalan-persoalan bangsa. Memang cukup berat, karena tidak semua dosen memiliki kapasitas ini. Tapi jika  boleh kembali ke titik awal sebelum menjadi dosen, seharusnya kapasitas ini terpenuhi terlebih dahulu oleh calon dosen.

Lalu bagaimana faktanya?

Nah inilah yang menjadi persoalan. Jangankan kritis terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan, termasuk saya sendiri, justeru terkungkung oleh persoalan-persoalan pragmatis kehidupan sehari-hari. Jauh-jauh, menyampaikan sikap kritis terhadap persoalan yang dihadapi oleh bangsa, menyampaikan secara terstruktur dan sistematis saja pemikiran kritis tidak mampu. Ini tentu menjadi persoalan tersendiri dan serius. 

Maka tidak heran, jika pada akhirnya menjadi dosen tidak jauh berbeda dengan sebuah pekerjaan yang hanya untuk mengejar dan memenuhi kebutuhan hidup belaka. Walaupun bukan sesuatu hal yang harus dipermasalahkan, karena dosen juga memiliki kehidupannya sendiri. 

Saya tergerak dengan kehidupan para cendekiawan yang konsentrasi terhadap perjuangan anak bangsa hingga keluar dari persoalan kebangsaannya sendiri. Bagaimana jadinya seorang Soekarno jika hanya mementingkan hidupnya sendiri, bagaimana jika Hatta  hanya memikirkan ekonomi pribadinya saja, apa jadinya bangsa ini jika sekelas Tan Malaka hanya mengejar prestise pemikiran hanya untuk gaya-gayaan. 

Mereka adalah kaum cendekiawan yang mampu membawa bangsa dari kemelut, mereka adalah intelektual sejati yang tidak memikirkan lagi dirinya sendiri. Mementingkan kehidupan berbangsa dan bernegara di atas kepentingan dirinya sendiri.

Tentu saja, jauh panggang dari Api antara saya dengan mereka. Tidak dapat dibandingkan sedikitpun. Namun, sebagai sebuah catatan, ingin mengingatkan terhadap diri sendiri, bahwa ada tugas-tugas di luar tridarma yang menunggu agar tetap berpegang pada nilai intelektualitas, bukan hanya administratif kedosenan. Karena sejatinya dosen adalah seorang intelektual yang harus selalu resah menyaksikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh bangsanya sendiri.

Jabatan akademik menjadi salah satu penilaian dalam mengejar nilai perguruan tinggi atau satuan terkecilnya yaitu program studi. Salah satu jabatan akademik adalah profesor. Bahkan profesor menjadi syarat agar suatu program studi dapat dilegalisasi, misalnya untuk pendirian jejang studi Strata 3 (S3).

Pada sisi lain, secara individual, gelar akademik tersebut sebagai suatu pencapaian prestisius seseorang dalam karir akademiknya. Ia merupakan jabatan tertinggi yang diraih seorang dosen. Selain prestisius, berdasarkan beberapa informasi yang didapat, tunjangan akademik profesor cukup tinggi jika dibandingkan dengan gelar jabatan misalnya lektor atau lektor kepala.

Dengan segala kelebihan yang prestisius tersebut, tidak sedikit, dosen yang telah memenuhi kualifikasi pendidikan doktor ingin mengejar jabatan akademik tersebut.

Lalu apa masalahnya? Sebetulnya tidak ada, justeru Indonesia sendiri sangat kekurangan guru besar. Indonesia sangat kekurangan guru besar dalam berbagai bidang studi. Sehingga justeru ketidakhadiran guru besar tersebut menjadi masalah bagi Indonesia.

Namun, justeru muncul masalah baru, karena dari masalah tersebut, terjadi salah kaprah dalam mengejar jabatan tersebut. Misalnya guru besar dikejar karena hanya ingin mengejar prestisius dan tunjangan jabatan, bukan karena kapasitas kecendekiaannya sebagai ilmuwan.  

Saya pernah menulis catatan kecil tentang Menjadi Doktor tanpa Karya dalam personal blog @abahraka. Catatan ini sebetulnya sebagai bentuk keprihatinan, bahwa saat orang-orang mengejar doktor bukan lagi pada persoalan bagaimana meningkatkan kapasitas intelektualitasnya sebagai dosen dan menaikkan kelas menjadi cendekiawan. Namun lebih pada bagaimana mengejar gengsi doktor dan gelar belaka. 

Saya melihat bahwa doktor itu bukan prestisius pada gelarnya, tapi pada produktivitas berkarya sesuai dengan peningkatan kapasitas intelektualnya. Seorang intelektual tidak berhenti pada memikirkan dirinya saja, tapi bagaimana memikirkan sesuatu yang lebih besar lagi, bangsa ini!

Namun pada kenyataannya, mungkin tidak sedikit, bahwa doktor tidak lebih dari sekedar gelar mentereng belaka tanpa diikuti oleh bentuk kepedulian terhadap persoalan-persoalan kebangsaan yang ada di Indonesia. Padahal seperti pernah saya tulis dalam catatan tersebut, mengutip pesan dari Ali Syariati, seorang intelektual Islam dari Iran, mengatakan: 

“Seorang intelektual tercerahkan adalah ia dengan tangan yang sama menuliskan ayat-ayat suci dari langit serta terbenam dalam genangan lumpur dan mengayunkan kayu untuk menyuburkan tanah yang kering, ia berdiri tegak memperjuangkan ayat-ayat Allah dan hak-hak masyarakat”.

Itu satu hal, tentang doktor. Terjadinya peningkatan kapasitas harus diimbangi oleh bentuk dan orientasi masa depan kedoktorannya terhadap persoalan kebangsaan. Salah satu ukuran konkretnya adalah dengan karya-karya nyata intelektual baik berupa konsep ataupun praktis penerapannya di masyarakat.

Lalu bagaimana dengan profesor? 

Profesor bukan Gelar Akademik tapi Jabatan Akademik

Profesor berbeda dengan doktor, jika doktor adalah gelar akademik yang diperoleh dengan sekolahan, dimana saat seseorang telah menyelesaikan jenjang studi S3, maka secara otomatis akan menyandang gelar tersebut. Namun, profesor tidak dengan menempuh studi, tapi bagaimana dedikasi penuh tanggung jawab terhadap ilmunya sehingga menghasilkan karya nyata untuk dunia akademik ataupun masyarakat. Sehingga bukan suatu paksaan dan dipaksakan untuk mendapatkan gelar tersebut sebagaimana halnya jabatan politik. Tapi karena konsentrasi dan keilmuannya yang diakui oleh panggung akademik dalam karirnya sebagai dosen.

Menarik untuk diceritakan, awal-awal masa pandemi, terlibat obrolan dalam proses pengajuan guru besar salah satu perguruan tinggi. Saya melihat secara kapasitas personal memang telah sangat layak. Baik pengabdian, karya, kualitas, serta pengimbangan mental. Dengan kapasitas yang dimiliki, saya yakin jika mereka memang layak mendapat gelar paling tinggi sebagai dosen, yaitu guru besar.

Namun, di luar itu semua, beberapa yang telah keluar kepangkatannya, justeru terlalu dipaksakan. Karena berkarya bukan berangkat dari keresahan dan kepedulian terhadap masyarakat, justeru berkarya untuk mengejar gelar. Bagi saya, ini sangat meresahkan, karena bukan berangkat dari core value sebagai seorang intelektual. Namun, kebutuhan pragmatis mendapatkan gelar tersebut.

Cukup memprihatinkan, saat seseorang yang telah merasa nyaman dengan gelar doktornya tiba-tiba merasa iri karena temannya menjadi profesor, dan ia merasa juga mampu, dan meminta kolega-koleganya untuk membentuk tim dalam penyusunan karya ilmiahnya. 

Saya merasa, gelar prestisius yang didapatkan oleh orang-orang yang memiliki kapasitas intelektual tersebut sedang diturunkan derajatnya secara drastis. Bukan karena tidak boleh menjadi profesor, Tapi lebih karena guru besar oleh para pragmatis ini dianggap bisa dicapai dengan hal-hal teknis dan pragmatis. 

Jika demikian, maka wajar jika pada akhirnya, nanti para guru besar bukan orang-orang yang selalu berfikir besar, tapi berfikir pendek dan kerdil sebagaimana halnya ia melakukan hal-hal pragmatis dalam mendapatkan gelar tersebut.

Wajar jika banyak guru besar yang tidak lagi besar pikirannya, bijak melangkahnya, karena gelar tersebut didapatkan dengan cara-cara instan demi prestise dan tunjangan.

Artinya, jika merasa tidak cukup konsentrasi terhadap kecendekiaan dan intelektualitas, harusnya cukup tau diri. Toh dengan gelar doktor juga sudah lebih dari cukup, apalagi gelar doktornya tersebut tidak digunakan untuk berkayar. Maka jangan rendahkan gelar profesor dengan ego mengejar jabatan dan tunjangan.