Cerita Sukses bukan (hanya) Milik Selebriti
![]() |
ilustrasi, sumber medhy hidayat |
Cerita sukses kreator konten yang mendulang rupiah dari ruang digital bukan lagi milik figur publik seperti Atta Halilintar, Dedy Corbuzer, Raffi Ahmad, ataupun pemilik kecakapan digital Agung Hafsah yang sejak usia remaja sudah terampil berbicara di depan publik dengan teknik videografinya.
Konten Minus Nilai
Berkedok kreator digital, pengguna sudah mengunggah jutaan konten. Dari konten kata-kata kasar dan tabu hingga pornoaksi. Konten lain menawarkan konsumerisme atau pamer kekayaan dan pencapaian-pencapaian hidup lainnya (fleksing) hingga konten prank. Sebagian lain membohongi pengguna lain atau kreator digital baru atas nama interaksi agar kontennya dibagikan, disukai, dikomentari, atau ditaburi Bintang untuk mendapatkan umpan balik yang sama.
Pada platform seperti Youtube atau Tiktok, ada beberapa kreator digital merasa tidak bersalah dan tanpa dosa saat dengan sengaja melakukan fabrikasi informasi. Menciptakan simulakra yang sama sekali tidak berdasarkan fakta. Pada platform X bahkan konten pornoaksi dibiarkan bebas berseliweran tanpa kontrol.
Berdasarkan data dari dirjen Aptika Komdigi, sejak 2018-2023 terdapat konten negatif sejumlah 3,7 juta konten. Sepanjang tahun 2024, Komdigi juga merilis terdapat 1923 konten hoaks. Sementara, pada awal tahun 2025 terhadap 43 ribu konten negative yang diturunkan oleh Komdigi, khususnya tentang judol.
Teknologi Hawa Nafsu
Ada pepatah usaha tidak mengkhianati hasil. Ini seringkali menjadi kata-kata penuh gairah bagi pengguna yang sudah merasakan cuan dari platform. Sehingga mengundang pengguna lainnya untuk terus mendapatkan rangking dan level tertentu pada platform tersebut.
Pengguna akhirnya dituntut untuk menciptakan kontennya setiap saat. Selain untuk mengejar eksistensi dan keterbacaan algoritma. Mereka juga mengejar level agar naik dan cepat monetisasi. Satu dua kali terlewat untuk menggunggah konten, maka algoritma membacanya sebagai bentuk kinerja yang rendah.
Untuk memenuhi kinerja platform tersebut, pengguna secara serampangan dan membabibuta membagikan konten apapun walaupun melanggar etika dan norma sosial. Beranda pun penuh dengan konten-konten sampah. Konten tersebut tidak hanya merusak pemandangan ruang digital juga merusak pikiran dan mental penggunanya.
Meminjam istilah Rich De Vos (1995) passionate capitalism – kapitalisme hawa nafsu. Pengguna yang mengatasnamakan kreator digital dituntut untuk terus menciptakan konten secara periodik. Bahkan terdapat paham di kalangan pengguna, jika ingin mendapatkan cuan dari platform minimal setiap harinya harus mengunggah sejumlah tiga konten.
Dalam konteks tersebut, teknologi bukan menjadi solusi bagi ekonomi pengguna, justeru menjadi masalah baru karena menjadi umpan bagi hawa nafsu yang tidak terkendali. Meminjam istilah John Naisbith, mereka benar-benar mabuk teknologi.
Eksploitasi Media Sosial
Jika pengguna tersebut selalu bersembunyi di balik kebebasa, justeru sebaliknya, hal sebagai keterikatan yang tidak ada ujungnya. Media sosial menciptakan ketergantungan para penggunanya. Ini bukan lagi FOMO (Fear of missing out) tapi perilaku yang dikendalikan oleh mesin, apa yang disebut Lanier sebagai BUMMER (Behavior of Users Modified and Made into an Empire for Rent). Seolah-olah pengguna bekerja pada platform padahal tidak dibayar sepeserpun—tentu saja ada yang dibayar jika beruntung.
Apa yang diberikan oleh pengguna berupa konten, merupakan bentuk modal tetap dan kekayaan bagi pengembang platform (perusahaan). Menurut Hardt dan Negri dalam Fuch (2021) ini bukan hanya bentuk eksploitasi, namun juga perampasan dan dominasi yang dilakukan oleh kapitalisme digital.
Fenomena ini apa yang diistilahkan oleh Jaron Lanier (2019) sebagai ilusi media sosial. Salah satunya tentang kebebasan. Para kreator konten alih-alih memiliki kebebasan justeru ia dibelenggu oleh tuntutan platform untuk terus memproduksi konten. Konten dengan jumlah penonton banyak hingga menjadi viral justeru menjadi candu bagi penggun.
Perkuat Literasi Digital
Walaupun Komdigi akan mulai mengawasi konten melalui SAMAN (Sistem Kepatuhan Moderasi Konten) seperti diberitakan detik (24/01/2025) namun belum tentu efektif karena sifatnya bertahap dan membutuhkan Sumber Daya. Coba cek platform X yang begitu bebas dengan konten pornografi. Coba cek Tiktok dan Youtube yang penuh dengan konten hoaks. Semua itu masih bebas sampai hari ini.
Jika masyarakat tidak berperan serta, maka satu dua konten yang ditertibkan pemerintah pasti akan muncul lagi. Sebagaimana halnya situs judol, satu mati tumbuh seribu. Padahal sudah jelas konten judol itu terlarang.
Oleh karena itu, peran konkret masyarakat dalam membendung beragam konten negatif dan meresahkan harus digalakkan. Bukan alih-alih terbawa arus dengan tawaran cuan dari platform lalu kemudian kebablasan. Justeru peran warganet dibutuhkan untuk melawan konten-konten negatif dengan melakukan counter konten.
Kita sebagai bagian dari pengguna mari berperan serta berpartisipasi secara konkret menjadi menciptakan konten positif dan menjadi watchdog terhadap konten-konten minus nilai. 1000 koten negatif yang tersebar, marilah kita lawan dengan 10.000 konten postitif, agar algoritma tidak berpihak pada konten yang minus etika. Sehingga konten-konten negatif tidak direkomendasikan oleh platform dan konten positif muncul menjadi BUMMER di ruang digital Indonesia.***[]