Beberapa Tulisan Koran |
Menjelang akhir tahun, salah satu refleksi yang saya lakukan adalah telah masuk tahun kedua, tidak ada tulisan reflektif yang dipublikasikan media massa. Padahal, eksistensi tersebut sangat terasa, walaupun bisa jadi semu belaka.
Sepanjang Pandemi 2020, 4 tulisan yang dikirimkan ke media tidak bersambut dengan baik. Memang, 2020 menjadi tahun-tahun terberat, selain karena pekerjaan yang jauh dari ekspektasi, tidak
memiliki kampus yang bisa diklaim sebagai sumber pendapatan utama, juga karena kondisi keuangan yang cukup parah.
Walaupun menjadi tahun
terberat, satu dua atau tiga tulisan tetap bisa dihasilkan dari tangan
gempalku, yang orang bilang jempol semua hehehe. Biar jempol semua, sudah bisa
menghasilkan jutaan dari menulis di media massa. Sombongnya mungkin begitu.
Selain menjadi tahun terberat,
tahun 2020 juga menjadi tahun refleksi karena ternyata banyak media cetak yang
mengurangi rubrik dan oplah. Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, bahkan saat
langganan Kompas juga ternyata berkurang setengahnya lebih. Rubrik-rubrik yang
secara bergantian menjadi sasaran tulisanku raib.
Walaupun, fasilitasi kolaborasi
telah demikian terbuka, tapi ternyata saya belum move on dari media massa cetak.
Entah, saat tulisan itu bisa terbit, seakan-akan eksistensi diri langsung
melambung, terlepas isi dompet selalu cekak. Tapi saat itulah, masa depan cerah kembali, setidaknya untuk satu atau dua minggu, karena otomatis dompet terisi
lagi.
Kini, perkaranya bukan soal
dompet, namun soal intelektualitas yang sepertinya mulai memudar. Kerja
administrasi yang dijalani selama kurang lebih pada massa mengambang sebagai pekerja cendekia masih belum menyambut baik.
Memasuki awal tahun 2021, Alhamdulillah
telah memiliki perlabuhan kampus yang mentereng, dengan segudang prestasi
di dalamnya. Tapi akulturasi diri dengan atmosfer kampus baru tersebut belum
terintegrasi, suara-suara idealis dari rekan hanya bersarang pada grup-grup WA,
belum masuk pada sanubari. Padahal, sejatinya suara-suara itu yang bisa
mendorong dan meluapkan tema kritis dalam setiap langkah berpikir. Tapi
rupanya, masih berada dalam gapura penyambutan.
Tahun 2021 akhirnya menjadi tahun
penuh apologi bahwa sedang beradaptasi dengan kampus teknokrat yang bisa
mengerek dan mengangkat. Tapi apalah artinya aku, jika tak berkarya dan
bergerak. Lagi-lagi studi doktoral juga menjadi alasan, untuk menutupi segala
kekurangan dan kelemotanku dalam berpikir.
Tidak ada resolusi pada tahun
2022, selain bahwa saya harus menyelesaikan doktoralku. Dan jalan menulis harus
lagi kutempuh dan mengawali awal baru. Mungkin sudah lupa caranya, karena
selama tahun 2021, entah ada atau tidak bukti ketikan jari jempol semua pada
menu ‘send’ pada emailku. Entah. Jika demikian, artinya, otakku tidak lagi
dipakai untuk merefleksi kehidupan selama setahun lamanya. Astagfirullah.
Tulisan ini, tentu bukan keluh kesah,
bukan resolusi, bukan juga umpatan-umpatan tak berguna terhadap diri yang
selalu memiliki alasan untuk tidak berkarya, menjadi pemalas berpikir. Padahal,
isu-isu selalu seksi untuk dibahas ditelanjangi dengan teori-teori yang
seadanya. Tidak mewah, tapi tidak juga terlalu miskin. Cukuplah bagi seorang
pembelajar.
Tulisan inipun tak ubahnya,
bagian dari pembelajaran, kemanakah saya selama ini. Kini yang telah berubah
menjadi Aku. Selalu memiliki banyak alasan untuk meng-Aku-kan. Sebagaimana
halnya, generasi-generasi yang merasa pinter sendiri.
Tidak pula, refleksi pikiran itu
saya tuangkan dalam bentuk blog yang kini bermetamorfosa menjadi dua, satu
ceritanya untuk tulisant-tulisan teknis, satu lagi ceritanya untuk
tulisan-tulisan sedikit nakal, nakal berpikir. Dan tulisan ini entah masuk
kemana. Tidak satupun tulisan yang dihasilkan melalui blog. Jikapun ada, dalam
bentuk catatan peristiwa karena ada agenda sosial. Itupun tidak atas namaku.
Akupun tidak peduli. Karena bukan genre tulisan seperti itu yang dimaksud:
opini, feature, ataupun essay bebas yang entah masuk genre essay atau tidak.
Baiklah, ini hanya tulisan pengingat
bahwa ternyata, sumber kekuatan eksistensi diri, kepercayaan diri, cukup besar
prosentasinya dari tulisan yang tersebar di media massa, yang bisa jadi nanti
akan menjadi kenangan, karena tidak lagi ku lakukan. Bukupun, masih berkutat
pada ‘sedang dan sedang’ walaupun bab-bab tersebut telah ada. Tapi tidak
kunjung selesai.
Jadi, mari kita mulai lagi, dari nol lagi, belajar lagi, menulis refleksi. Apapun teorinya. Apapun temanya. Apapun tulisannya. Tapi walaupun apapun, tetap harus tampak bertenaga sekaligus renyah dibaca. Yuk! Mari menjadi seorang pembelajar. Yang tidak pernah angkuh untuk selalu melakukan refleksi terhadap dunia kehidupan ini yang mungkin sebenar lagi akan aku tinggalkan.***[]