Herry Wiryawan akhirnya mendapatkan vonis hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung, setelah sebelumnya mendapatkan putusan hukuman seumur hidup. Putusan ini terjadi kala Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding. Selain putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum juga menuntut agar membekukan asset-aset terpidana mati, seperti diberitakan oleh deskjabar, jaringan Pikiran Rakyat pada Senin (04/04/2022).
Perbuatan biadab yang dilakukan oleh
terpidana mati tersebut merupakan puncak gunung es dari sejumlah kasus yang
serupa pada tahun 2021 tersebut. Karena pada saat kasusnya bergulir di
penghujung tahun 2021, muncul juga beberapa kasus serupa yang dilakukan oleh
‘ustadz’ atau yang merepresentasikan penjaga moral dari lingkungan Lembaga
Pendidikan, tidak hanya satu atau dua. Bahkan korbannya lebih banyak dari yang
dilakukan oleh Herry Wiryawan. Kasus serupa tersebar di sejumlah daerah Jawa
Barat seperti di Depok dan Tasikmalaya juga di Jawa Tengah dan Sumatera
Selatan. Kasus terakhir terekam dari berita nasional, seorang pimpinan pondok
pesantren di Kutai Kartanegara memperkosa santrinya yang masih berusia 15
tahun.
Pada saat tulisan ini akan diunggah (21/05/2022),
ada kasus baru, seorang pengasuh pesantren melakukan hal serupa, mencabuli
santrinya. [LINK]
Semiotika Agama
Peci, walaupun sebagai tanda budaya
di Nusantara, namun dalam konteks lokalitas, menunjukkan seseorang yang punya
ikatan kuat dengan agamanya, Islam. Seorang muslim yang menunjukkan penanda
tersebut, apalagi dipadupadankan dengan penanda lain misalnya baju takwa maka
akan terjadi kesepakatan makna bahwa orang tersebut religious, sholeh, atau
sekurang-kurangnya orang baik. Jika disandarkan pada seorang perempuan
berkerudung (hijab) ditunjang dengan pakaian syar’i lainnya, seperti pakaian
yang tertutup serupa kaftan atau gamis, hal serupa akan berlaku.
Jika penanda tersebut dipakai oleh seorang
guru yang mengajarkan tentang moral termasuk perangkat agama seperti bahasa
arab atau kitab kuning, maka kita akan sepakat guru tersebut adalah orang baik
dan berakhlak. Maka lekatlah Sang Guru
dengan sebutan ustadz atau guru agama.
Ustadz atau guru agama tentu memiliki
rekam jejak yang baik sebelum ia dipercayai oleh masyarakat untuk mengajar
anak-anaknya belajar agama di suatu Lembaga Pendidikan agama seperti majelis
taklim atau pondok pesantren. Sehingga eksistensi ustadz selalu memiliki relasi
kuat dengan Lembaga tersebut. Kolaborasi penanda peci, ustadz, dan pesantren
menghasilkan kesepakatan akan pengahayatan yang taat terhadap agama. Sehingga
melahirkan petanda orang-orang yang baik, berakhlak. Sampai di sini kita
sepakat.
Tampaknya kesepakatan ini tidak
pernah berubah, sehingga Ketika penjaga moral tersebut melakukan kesalahan
fatal, maka hujatan penuh kebencian akan dialamatkan kepada penista ajaran
moral tersebut. Karena melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai
kesepakatan yang telah dijelaskan sebelumnya.
Tanda Sudah Mati!
Belakangan, penanda peci, ustadz, dan
pesantren bertolak belakang dengan cita-cita ideal Lembaga penjaga akhlak
tersebut. Sehingga tingkat kebiadabannya seakan berlipatganda dibandingkan yang
dilakukan oleh orang yang tidak merepresentasikan penjaga moral. Berbagai kasus
yang melibatkan ‘ustadz’ menunjukkan bahwa antara penanda dan petanda tidak
memiliki relasi lagi. Peci, ustadz, dan pesantren tidak memiliki ikatan yang
kuat lagi terhadap representasi nilai-nilai kebaikan.
Artinya dalam tanda tersebut bisa
jadi makna lepas begitu saja karena ulah penggunanya. Bahkan bisa menjadi alat
kekuasaan para pemburu—meminjam konsep Piliang—Libidonomic. Peci, ustadz, dan
pesantren bisa melekat pada siapa saja
bagi mereka yang ingin menggunakan penanda tersebut. Tanpa melakukan seleksi
terlebih dahulu, apakah penggunanya betul-betul menghayati cita-cita ideal dari
makna penanda yang disepakati atau hanya sebagai alat kekuasaan belaka untuk
menuruti apa yang disebut Sigmund Freud sebagai ‘Id’.
Peci, ustadz, pesantren dalam
genggaman manusia yang belum sepenuhnya dewasa secara mental, berubah menjadi
tanatos, bukan eros. Tanatos adalah bentuk cinta yang merusak, karena ego
dan superego tidak mampu mengatur dengan baik sang Id, begitu
kira-kira hasil wawancara imajiner dengan Freud, seorang tokoh psikoanalisis.
Sehingga penanda peci, ustadz, dan pesantren di tangan seorang pemuja libido
merupakan wujud simulasi penanda yang telah diduplikasi, dikopipaste, sehingga
menjadi penanda murni. Petandanya pun terlepas dari petanda aslinya sehingga
terjadi kekacauan petanda.
Postsemiotika Agama
Kita harus memahami bahwa relasi tanda
dari peci, ustadz, dan pesantren dengan penggunanya telah mati. Mereka
menggunakan tanda tersebut untuk menutupi
hubungan penanda dan petanda yang sebenarnya. Sebagaimana hasil
wawancara imajiner dengan Freud di atas. Para penista agama yang melecehkan
peci, ustadz, dan pesantren sedang melakukan apa yang disebut Baudrillard sebagai
permainan bebas penanda. Pada dasarnya mereka tidak memiliki marwah penjaga
moral, mereka adalah pemuja libidonomic.
Jika kasus seperti ini terus berulang,
oknum-oknum pimpinan Lembaga Pendidikan agama dikendalikan oleh Id-tanatos,
lambat laun marwah pondok pesantren akan rusak. Padahal, pesantren bagi umat
Islam adalah Lembaga Pendidikan yang tidak hanya punya masa depan akhirat tapi
juga sekaligus dunia.
Melalui tulisan ini, penulis mengurai
relasi kuasa tanda dalam perspektif postsemiotika, agar marwah Pendidikan Islam
ini tetap terjaga. Agar masyarakat tidak terpengaruh oleh manusia yang telah
menunggangi agama dan merusak citra Lembaga Pendidikan paling tua di Indonesia
ini.
Perspektif Postsemiotika, makna benda
dalam hal ini hubungan antara penanda dan petanda tidak selalu linear. Oleh
karena itu antara peci, ustadz, dan pesantren harus dipisahkan terlebih dahulu
dari penggunanya. Meminjam istilah Jacques Derrida, ketiga konsep makna luhung
tersebut harus didekonstruksi dari penggunanya. Sehingga kita bisa memilah
bahwa perilaku biadab yang dilakukan oleh manusia yang menuruti hawa nafsu (Id-tanatos),
sama sekali tidak terkait dengan lembaga pesantren yang dipimpinnya, atau
ustadz yang disematkan masyarakat kepada dirinya, atapun peci yang selalu
menempel pada kepalanya.
Karena selama ini, antara penanda dan
petanda yang hadir dalam konsep peci, ustadz, dan pesantren selalu linear dan
terjadi konvensi kemelekatan dalam diri seseorang yang mengenakannya. Faktanya,
perusak benteng akhlak tersebut sedang melakukan simulasi diri sebagai orang
soleh. Simulasi manusia bermoral tersebut tidak selalu merujuk pada realitas yang
sebenarnya karena simulasi bisa jadi bertolak belakang dengan tujuan dan
niatnya. Dirinya justeru sedang membuat kekacauan tanda. Agar tidak terbaca
bahwa yang mengendalikan nafsunya adalah Id-tanatosnya bukan superego-nya,
bukan ayat-ayat kitab suci.
Penanda budaya keagamaan tersebut, dalam
relasinya dengan santri, meminjam pandangan Foucault, menjadi alat penganut
libidonomic dalam mempraktikkan kekuasannya. Melalui tanda-tanda budaya agama
tersebut, penganut libidonomic sedang mencengkeram dengan kuat bagaimana
pengaruhnya betul-betul efektif.
Oleh karena itu, kesalahan fatal yang dilakukan oleh pelaku pencabulan, atau pemerkosaan, sama sekali tidak dilakukan oleh seorang ustadz atau pimpinan pondok pesantren, tapi oleh manusia simulatif yang mengacaukan tanda-tanda konvensional peci, ustadz, dan pesantren. Mereka adalah orang-orang yang ahli dalam mengkreasikan tanda-tanda agama dengan dirinya yang menjadi penganut libidonomic.***[]